1. Pengertian.
Bid’ah adalah sesuatu yang baru
yang diada-adakan dalam agama atau selainnya.[1]
Menurut
bahasa bid’ah merupakan masdhar dari bada’a yang berarti mengadakan sesuatu,
sebagaimana di jumpai dalam kamus.
Menurut
istilah kejadian baru didalam agama, setelah sempurna atau hal-hal baru sesudah
nabi Muhammad Saw,baik berupa keinginan (hawa nafsu) maupun perbuatan.[2]
Menurut
Imam as-Syafi’I
المحد
ثات ضربان ما احدث يخالف كتابا او سنة او اجماعا فهو بدعة الضلالة وما احدث في
الخير لا يخالف شيئا من ذلك فهو محدثة غير مذمومة اها
Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam;
Pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Qur’an atau Sunah atau Ijma’, itu
disebut bid’ah dlalah (tersesat). Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak
menyalahi al-Qur’an Sunah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela.[3]
2. Hukum bid’ah dalam Agama
Setiap
bid’ah dalam agama adalah haram dan sesat dan berdasarkan sabda Rasulullah:
وإياكم و محدثات الأمور
فإن كلّ محدثة بدعة و كلّ بدعة ضلالة (رواه أبو داود و الترمذي )
“Jauhilah
oleh kalian perkara-perkara baru, sesungguhya setiap perkara yang baru itu
adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” (HR.
Abu Dawud dan At Tirmidzi).
Dan
Rasulullah juga bersabda:
عن أم المؤمنين أم عبدالله عائشة رضي الله عنها قال : قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم
” من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ” رواه البخاري
ومسلم
Dari
Ummul mukminin, Ummu ‘Abdillah, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata bahwa
Rasulullah n bersabda:
“Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan
dari kami, maka dia tertolak”. (Bukhari dan Muslim)
وفي رواية لمسلم ” من عمل
عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
Dalam
riwayat Muslim : “Barangsiapa melakukan suatu amal yang
tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak”)
Bid’ah yang
dikehendaki oleh ahli Hadits, ialah perjalanan, pendirian atau kepercayaan yang
dipegang oleh seseorang atau sesuatu golongan.
Pendirian,
perjalanan, atau kepercayaan ini, boleh juga disebut: Madz-hab.
Madzhab-madzhab yang dikatakan bid’ah itu, ada banyak, diantaranua:
1.
Al-Mur-ji-ah, yaitu satu golongan yang menangguhkan keputusan
tentang hokum bagi orang yang mengerjakan dosa-dosa besar, dan meninggalkan
amal-amal wajib, yakni mereka tidak menghukumkan kufur atas orang-orang itu, dan
tidak pula mereka memfasikkan, tetapi mereka serahkan hukumannya di akhirat
nanti. Orang yang berpegang kepada madzhab ini, dikatakan Murji.
2.
Asy-Syi’ah, yaitu satu golongan yang sangat cinta kepada khalifah
‘Ali, dan menganggap ‘Ali lah yang lebih berhak menjadi khalifah, serta mereka
tidak suka kepada Abu bakar, ‘Utsman, Mu’awiyah dan Aisyah. Orang yang
berpendirian demikian, disebut: Syi-‘i
3.
Ar-Rafidlah, yaitu satu golongan yang melebihkan ‘Ali daripada Abu
bakar dan ‘Umar. Orang yang bermadzhab demikian disebut: Rafidli
4.
Al-Qadariyah, yaitu satu kaum yang mengganggap, bahwa kejahatan itu
semata-mata perbuatan manusia. Orangnya disebut: Qadar
5.
Al-Jahmiyah, yaitu satu puak yang menafikan (meniadakan)
sifat-sifat Allah yang telah ditetapkan oleh Quran atau Sunnah, dan mereka
berkata bahwa Quran itu: Makluk
6.
An-Nashibah, yaitu satu golongan yang berpendirian membenci kepada
‘ Ali.
7.
Al-Khawa-rij, yaitu orang-orang yang tidak mau menerima keputusan
‘Ali beserta berlepas diri daripadanya, dari Utsman dan anak cucunya. Tiap-tiap
seorang daripadanya, disebut: Khariji
8.
Al-Waqf, pendirian yang
tidak menganggap Quran sebagai makhluk, dan tidak menganggap bukan makhluk.
Alhasil golongan ini tidak berkata apa-apa tentang kejadian Quran. Orang yang
berpendirian demikian, disebut: Waqif
Selain dari yang tersebut, ada
banyak lagi madzhab diantara kaum muslimin. Sebagian daripadanya menjadi cabang
dari beberapa madzhab yang saya bawakan di atas itu.
Maka yang dikehendaki dengan Riwayat Ahli bid’ah itu, ialah:
“Satu Hadits yang dalam sanadnya ada rawi ahli Bid’ah”.
Bid’ah itu ada dua macam: ada yang dianggap menyebabkan kekufuran.
Dan ada yang hanya bersifat kefasikan saja.
Tentang riwayat dari kedua-dua macam ahli bid’ah ini, di
perselisihkan oleh ulama:
v Ada yang
berkata: tidak boleh diterima riwayatnya.
v Ada yang
berkata: boleh diterima
v Ada yang
berkata: boleh diterima, kalau si rawi tidak beri’tiqad halal berdusta untuk
membela pendiriannya.
v Ada yang
berkata: boleh diterima riwayat rawi yang tidak mengajak kepada bid’ahnya.
v Ada yang
berkata: ditolak riwayat dari rawi yang
mengajak kepada bid’ahnya.
Satu-satu golongan tersebut menguatkan pendiriannya dan membantah
pendapat yang lain.
Tetapi Imam Ibnu Hajar berkata:
“…..Dan yang sebenarnya, tidak mesti ditolak (Riwayat) tiap-tiap
orang yang dianggap kafir karena bid’ahnya, sebab tiap-tiap golongan mendakwa
ahli bid’ah kepada orang-orang yang menyalahinya, sehingga terkadang ia
berlebih-lebihan lalu mengkufurkan orang-orang yang bertentangan dengannya.
Maka jika diterima yang demikian dengan umum, niscaya mesti dikufurkan semua
golongan; oleh karena ini, maka yang mu’tamad bahwa yang ditolak riwayatnya
ialah orang yang mengingkari perkara Syara yang mutawatir, yang keadaannya
diketahui dengan yakin, bahwa perkara itu dari Agama; dan begitu juga orang
yang beri’tiqad sebaliknya. Adapun orang yang tidak bersifat demikian serta
bersifat dlabit tentang Hadits yang ia riwayatkan, bersama wara dan buktinya,
maka tidaklah ada halangan untuk diterimanya.
Beberapa
Peringatan
1.
Dalam pasal ini, rasanya tidak perlu saya unjukkan contoh bagi
riwayat ahli bid’ah itu, hanya dibawah ini saya paparkan beberapa nama ahli
bid’ah saja Yaitu:
·
Amr bin Ubaid: seoarang Qadari
·
Ikrimah: Ibadli
·
Ibnu Abi Nujaih: Mu’tazil
·
Sallam bin Miskin: Murji-i
·
Ubaidullah bin Musa: Syi’i
·
Tsuwaiyir: seorang Rafidli,
·
Al-Ja’d bin Dirham: ahli bid’ah yang sesat
·
Bisyr bin Ghiats al-mirrie-si: Zindiq
·
Tsumamah bin Asy-ras: Mu’tazili
·
Hasan bin Shubbah: Nizhami
·
Bisyir bn as-Sirri: seorang Jahmi
·
Hassan al-A’raj; Khariji
2.
Hendaklah diketahui bahwa yang dimaksudkan dengan ahli bid’ah di
sini, ialah rawi yang sebagian ulama menganggap tercacat karena madzhab-nya
semata-mata, bukan karena lain-lain sifat kecelaan seperti dusta, majhul,
banyak kekeliruan, buruk hafalan dan sebagainya.
3.
Dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim, terdapat banyak rawi-rawi
yang dituduh ahli bid’ah tetapi kalau kita rajin menyelidikinya, akan kita
ketahui, bahwa tuduhan itu kebanyakannya tidak benar, dan sebagainya tidak
dapat dimasukkan dalam golongan orang yang mesti ditolak riwayatnya.
Umpamanya seperti: Ali bin Abi Hasyim bin Thairakh al-Baghdadi. Dia
ini seorang rawi Bukhari yang sangat benar, tetapi berpendirian waqf terhadap
Quran.
Apakah orang yang sudah terang sangat kebenarannya, tetapi karena
tawaqquf tentang kejadian Quran, maka riwayat yang dating daripadanya dianggap
lemah an tidak mau diterima?
Lagi seperti:
Hariz bin Usman, seorang rawi Bukhari yang kepercayaan, tetapi tertuduh
bermadzhab Nashb. Berkata Abu Hatim………dan tidak sah orang mengatakan bahwa ia bermadzhab Nashb.
Nyata tuduhan orang kepada hariz itu tidak benar.[4]
Bid’ah
dalam ibadah dan I’tiqad hukumnya haram. Hanya saja keharaman tersebut bobotnya
berbeda sesuai dengan jenis bid’ahya.Adabid’ah yang hukumnya jelad-jelas
kafir, seperti thawaf dikuburan untuk bertaqarub kepada penghuni kuburan
tersebut juga mempersembahkan kurban dan nadzar untuk kuburan, berdo’a kepada
penghuni kuburan dan meminta pertolongan kepada mereka, juga seperti perkataan
Jahmiyah dan Mu’tazilah. Diantaranya mengatakan Al Qur’an adalah makhluq.
Dan
ada bid’ah yang menyampaikan pada perbuatan syirik. Seperti membangun
di atas kuburan atau melakukan shalat dan berdo’a dikuburan.Adapula
bid’ah yang termasuk perbuatan dosa dan penyimpangan dari segi aqidah. Seperti
bid’ahnya kaum Qadariyah dan Murji’ah dalam perkataan dan akidah mereka
bertentangan dengan dali-dalil syar’i.
3.
Jenis
Bid’ah.
Jenisnya Bid’ah itu terbagi dua :
a.
Bid’ah mukaffirah, karna sebab-sebab tersebut pelakunya menjadi
kafir, Seperti seseorang yang meyakini sesuatu yang jelas kufur, atau orang
yang menolak perkara syari’at yang mutawatir dan tergolong ma’lumun min ad din
bi ad dhlarurah atau orang yang meyakini kebalikannya.
b.
Bid’ah mufassiqah, karna sebab-sebab tersebut pelakunya menjadi
fasik yang pada dasarnya tidak bisa tolelir.
4. Hukum Riwayat Ahli Bid’ah.
1.
Jika
bid’ahnya Mukaffirah, maka riwayatnya tidak bisa dijadikan hujjah menurut
kesepakatan ulama’.
Namun
Syaikh Al Islam Ibnu Taimiyah berkata:”Riwayat ahli bid’ah mukaffirah tidak
ditolak semua, karena setiap kelompok menuduh kelompok (lain) yang
menyelisihinya bid’ah, kadang sampai mengkafirkan (kelompok) yang
menyelisihinya. Jika tuduhan ini diterima secara mutlak maka akan
mengkafirkan semua kelompok yang ada. Maka yang menjadi sandaran
penolakan riwayat ahli bid’ah adalah siapa saja yang mengingkari urusan yang
telah mutawatir dan wajib diketahui dari urusan-urusan agama atau
orang yang meyakini kebalikannya.”[5]
2.
Jika
bid’ah Mufassiqah, para ulama’ ulama’berbeda pendapat:
a.
Tidak
bisa dijadikan hujjah secara mutlak, ini pendapat Al Khatib dan Malik. Karena
riwayat darinya untuk melariskan perkara (bid’ah)nya fasik dengan bid’ahnya.
b.
Bisa
dijadikan hujjah, dengan dua syarat menurut pendapat jumhur.
i.
Tidak
menghalalkan dusta dalam menyebarkan madzhabnya atau ahli madzhabnya.
ii.
Dia
tidak mengajak untuk melakukan bid’ah dan tidak meriwayatkan sesuatu yang dapat
ia gunakan untuk memperkuat bid’ahnya.
Imam
Syafi’I berkata:”Diterima kesaksian ahlu hawa kecuali Al Khithabiyah, karena
mereka meriwayatkan persaksian mereka dengan dusta untuk mendukung
pendapatnya.”
Maka
pendapat pertama lemah karena, shahibu Shahihain dan yang lainnya, banyak
perawi perawi pelaku bid’ah yang tidak menyeru kepada bid’ahnya.[6]
Imam
Adz Dzahabi berkata:”Orang-orang syi’ah didera, namun mereka jujur, bagi kita
kejujurannya dan bagi mereka (dosa) atas bid’ahnya.
Dari
Imam Ahmad, berkata:”Seseorang berkata:”Bagaimana para pelaku bid’ah dikatakan
tsiqah? Salah satu dari sifat tsiqah adalah adil dan itqan(cermat). Bagaimana ia dikatakan adil sedang ia
ahli bid’ah. Jawabnya adalah sesungguhnya bid’ah dibagi dua Yaitu:
Sughra(kecil),
yaitu seperti syi’ah yang tidak ghuluw dan mereka yang tidak (dihukum)bakar.
Karena ini banyak terjadi pada para tabi’in dan tabi’ut tabni’in, padahal agama
(mereka bagus) wara’ dan jujur. Sehingga kalau hadits mereka ditolak akan
banyak hilang astar dan hadits. Sungguh ini sebuah kerusakan yang nyata.
Bid’ah
kubra, yaitu seperti Rafidhah tulen dan ghuluw. Mereka merendahkan
Abu Bakar dan Umar dan mereka menyeru kepada pemahaman nya. Maka bid’ah seperti
ini riwayatnya tidak dijadikan hujjah.[7]
Imam
Syafi’i:”Aku tidak melihat suatu kaum yang mengikuti hawa nafsu, yang lebih
dusta persaksiannya dari pada Rafidhah.”[8]
5.
Riwayat-riwayat penganut bid’ah
Penganut bid’ah adakala bid’ahnya
mengkafirkan, adakalanya tidak.
Yang pertama ,
seperti orang-orang mujassimah yang
berpendapat bahwa tuhan bertubuh.
Yang kedua,
seperti orang rafidli dan lain-lain.
Para ulama
berselisihan terhadap golongan pertama kepada tiga pendapat.
a.
Diterima riwayatnya.
b.
Tidak diterima sama sekali riwayatnya.
Inilah pendapat Jumhur.
c.
Jika ia beri’tiqad bahwa berdusta itu haram, diterima riwayatnya.
Jika dia beri’tiqad, bahwa berdusta itu halal, ditolak riwayatnya.
Inilah pendapa
Al Iman Fakhruddin Ar Razi.
Menurut
pendapat Al Hafidh Ibnu Hajar, bahwa tidaklah pada tempatnya kita menolak
riwayat segala penganut bid’ah walaupun orang bid’ah itu dikafirkan lantaran
bid’ahnya, karena masing-masing golongan menuduh bahwa lawannya, orang orang
yang bid’ah dan terkadang-kadang mengkafirkan lawannya. Karena itu, riwayat
yang ditolak, hanyalah riwayat orang yang mengingkari sesuatu hal yang
mutawattir yang dengan mudah diketahui
bahwa agama menetapkannya.
Orang
yang tidak sedemikian sifatnya sedang ia adalah seorang yang kuat ingatan,
seorang yang taqwa, maka taka da halangan untuk menerima riwayatnya.
Penganut-penganut
bid’ah yang tidak dikafirkan, maka menurut penetapan An Nawawi, As Sayuthi dan
sesuai pula dengan pendapat malik, Ibnul
Mubarak, menolak riwayat orang rafidli dan orang yang memaki shahabat dan para
salaf. Demikian juga ditolak riwayat para penaganut bid’ah yang mengajak
manusia kepada bid’ahnya.
Selain dari
pada mereka itu, diterima riwayatnya, terkecuali riwayat yang menguatkan
bid’ahnya dan sesuai dengan bid’ahnya.
Al Hafidh Abu Ishaq Ibrahim ibn
Ya’qub Al Juzajani, guru Abu Daud dan An Nasa-I mengatakan, Bahwa :”diantara
perawi ada yang tidak mengikuti sunnah, tetapi ia seorang yang benar. Karena
itu, tidak dapat kita menolak riwayatnya, selama haditsnya itu tidak munkar dan
tidak pula di kuatkan bid’ahnya dengan hadits itu”.
Ibnu Hajar menetapkan, bahwa
“pendapat Abu Ishaq ini, kuat, karena illat kita tolak hadits penganut bid’ah
itu, adalah jika dhahir hadits itu sesuai dengan madzhabnya, walaupun dia tidak
menyeru kepada bid’ahnya”.[9]
6.
Kelompok
Bid’ah yang Paling Sedikit Berdusta.
Ulama’
menyebutkan kelompok yang paling sedikit berdusta adalah Khawarij. Karena
mereka mengkafirkan pelaku dosa besar. Dan sebuah hadits yang disandarkan
kepada mereka:
إذا أتا كم عني حديث قاعرصوه على كتاب الله ، فإن
وافق كتب الله فأنا قلته .
“Apabila
datang kepadamu hadits dariku maka korelasikanlah dengan kitabullah, apabila
sesuai dengan kitabbullah maka saya mengatakannya.”
Namun
sebagian peneliti meniadakan dari mereka tuduhan memalsu hadits karena tidak
ada dalil yang bisa dijadikan dasar.
Abu
Dawud berkata:
ليس في أهل الأهواء أصح حديثا من الخوارج .
“Tidak
ada ahlu ahwa (pengikut hawa nafsu) yang lebih shahih hadits dari pada
Khawarij.”
Ibnu
Taimiyah berkata:
ليس في أهل الأهواء أصجق ولا أعدل من الخوارج .
“Tidak
ada ahlu ahwa (pengikut hawa nafsu) yang lebih jujur dan lebih adil dari
pada Khawarij.”
Dan
beliau berkata:
ليسوا ممن يتعمدون الكذب بل هم معريفوم بالصدق ، حتى
يقال إن حديثهم من أصح الحديث
“Mereka
bukalah orang-orang yang bersandar pada kepada kedustaan, bahkan mereka ma’ruf
dengan kejujuran, hingga dikatakan hadits mereka paling shahih.“[10]
Maraji’:
7.
Nama-nama
Rawi Bid’ah
Berikut
ini saya unjukan beberapa rawi yang Ulama katakana Ahli bid’ah dengan sebagian
dari keterangan mereka:
a.
Ishaq
bin Ibrahim kamjir al-Maruji. Berkata Shalih Jazarah: “Ia seorang yang benar,
hanya adalah ia waqf tentang masalah Quran”. Kata as-Saji: Orang-orang tidak
mau meriwayatkan daripadanya, karena waqafnya tentang . Kata Abdus
an-Naisaburi: adalah ia seorang Hafizh yang sungguh-sungguh, tidak pernah ada
orang seperti dia tentang hafalannya dan wara’nya, tetapi ia tertuduh waqaf.
b.
Abdul
Majid bin Abdul Aziz. Berkata Abu Dawud: ia seorang kepercayaan mengajak kepada
madzhab Murji’ah.
c.
Hamzah
bin Najih. Kata Bukhari: Adalah ia Mu’tazili. Kata Abu Hatim: Ia lemah. Abu
dawud menganggap dia kepercayaan.
d.
Khalid
bin Abdillah al-Qasri ad-Dimisyiqi. Tersebut dalam Mizan I’tidal: Ia seorang
yang benar tetapi Nashibi.
e.
Musa
bin Qais al-Hadlrami. Ibnu Ma’in menganggap dia kepercayaan. Kata Abu Hatim: Ia
tidak mengapa yakni boleh dipakai. Kata an-Nufaili: Adalah ia seorang yang
berlebih-lebihan dalam Rafidlah.
f.
Dawud
bin Hashin Abu sulaiman al-Madani. Seorang Muhaddits yang masyhur. Ibnu Ma’in
dan lainnya menganggap dia kepercayaan. Berkata Abu Hatim: kalau sekiranya
Malik tidak ada meriwayatkan daripadanya, niscaya orang tinggalkan Haditsnya.
Omongan ini membayangkan kelemahan Dawud tersebut. Kata Ibnu Hibban: Adalah ia
bermadzhab Syurrah, tetapi tidak pernah ia mengajak orang kepadanya.
g.
Dzarr
bin Abdillah al-Hamdani. Seorang Tabi’i kepercayaan. Berkata Abu Dawud: Ia
adalah seorang Murji.
h.
Abbad
bin Ya’qub al-Asadi ar-Rawa Jini. Tersebut dalam Mizanul-I-tidal: adalah ia
dari golongan Syi’ah yang berlebih-lebihan dan salah seorang kepala bid’ah,
tetapi seorang yang benar dalam urusan Hadits. Selain dari delapan ahli bid’ah
ini, ada beberapa rawi lagi yang seumpama mereka. Delapan rawi yang tersebut di
atas semua orang kepercayaan. Hanya di antara mereka ada yang bermadzhab, dan
ada yang tertuduh dengan salah satu Madzhab.[11]
Daftar
Pustaka
Al
Mu’jam Al Washith
DR.
Mahmud Ath Thahhan, Taisir Mushthalah Al Hadits
M.Syakur
Dewa, Roy Fadli, Referensi Umum Umat Jilid II, Pustaka Azm, Kediri,2012.
Abdul
Qadir Hassan, Ilmu Musthalahul Hadits, Diponegoro, Bandung,2007.
Al Hafidz Al Imam As Suyuthi,Tabrib
Ar Rawi fi Syarh Taqrib A Nawawi.
Ahmad Muhammad Syakir, Al
Baa’its Al Hatsits, Syarh Ihtishaar Ulum Al Hadits li Al Hafidz Ibnu Katsir.
Prof.
Dr. T.M. Hasbi Ash shiddiqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits.
Syaikh Manna’ Al Qaththan, Tarikh
At Tasyri’ Al Islami.
[7] Al
Baa’its Al Hatsits, Syarh Ihtishaar Ulum Al Hadits li Al Hafidz Ibnu Katsir,
Ahmad Muhammad Syakir, hlm 102.