BAB I
PENDAHULUAN
Oleh karena rawi terakhir yang
mendewankan hadits secara resmi kedalam dewan hadits itu, tidak cukup sezaman dengan
Rasulullah SAW, maka sudah barang tentu hadits yang sampai kepadanya untuk di
dewankan itu melalui rawi-rawi setiap generasi yang di gunakan sebagai sumber
berita. Jika jumlah para sahabatyang menjadi rawi pertama suatu hadits banyak
sekali, kemudian rawi dalam masa tabi’in yang menerima hadits dari generasi
sahabat juga banyak jumlah nya, dan tabi’ut tabi’in yang menerima dari tabi’in pun seimbang
jumlah nya, demikian seterusnya dalam keadaan yang sama, sampai kepada
rawi-rawi yang mendewankan hadits, maka hadits tersbut dinamakan Hadits
Mutawatir.
“Hadits Mutawatir” itu memberi
faedah ilmu dlaruri, yakni keharusan untuk menerimanya bulat-bulat
sesuatu yang diberitakan oleh hadits mutawatir, hingga membawa keyakinan yang
qath’I (pasti).
Rawi-rawi hadits mutawatir, tidak
perlu di selidiki tentang keadilan dan kedlabitannya, karena kuantitas
rawi-rawinya sudah menjamin dari persepakatan dusta. Nabi Muhammad SAW,
benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu, sebagaimana yang diberitakan
oleh rawi-rawi mutawatir.
Segenap umat islam telah bersepakat
pendapatnya tentang faedah hadits mutawatir yang demikian ini. Bahkan orang
yang mengingkari hasil ilmu-dlarury yang berdasarkan khabar mutawatir, sama
dengan mengingkari hasil ilmu dlarury yang berdasarkan musyahadat (penglihatan
panca indra)
BAB II
PEMBAHASAN
1.Ta’rif Hadits Mutawatir
Dari segi bahasa
hadits mutawatir berasal dari isim fa’il musytaq dari At-tawatur artinya
at-tatabu’ (berturut-turut)[1]
Sedangkan menurut
istlah:
الحديث المتواتر هو الذي رواه جمع كثير يؤمن تواتؤهم على الكذب عن
مثلهم الى انتهى السند مستندهم الحث.
Hadits
mutawatir adalah adalah hadits yang di riwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak
mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan
seterusnya sampai akhir sanad dan semuanya bersandar kepada panca indra.[2]
Ada
juga yang mendefinisikan:
هو خبر عن محسوس رواه عدد جم يجب فى العادة احالة اجتماعهم و تواتؤهم
على الكذب
“suatu hadits
hasil tanggapan dari panca indra, yang di riwayakan oleh sejumlah besar-rawi,
yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat berdusta”[3]
2.Syarat Hadits Mutawatir
a. hadits itu di peroleh dari Nabi saw atas dasr
pancaindera yang yakin. Maksudnya bahwa
perawi dalam memperoleh hadits nabi
haruslah benar-benar dari hasil pendengaran dan penglihatan sendiri.
Jadi, bukanlah atas dasar pemikiran, pemikiran, atau hasil istinbath dari suatu
dalil dengan dalil yang lain atau bahkan diambil dari hasil pemikiran filsafat,
walaupun dalil-dalil itu diakui kebenarannya oleh semua orang[4]
b. jumlah rawi-rawinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak
memungkinan mereka bersepakat untuk berbohong atas nabi saw. Para ‘ulama bebeda
pendapat tentang batasan berapa jumlah rawi yang membatasi hadits itu menjadi hadits
mutawatir[5]
Ø Abu thayyib
menentukan sekurang-kurangnya 4 orang, karena di qiyaskan dengan banyaknya
saksi yang di perlukan hakim untuk memberi vonis kepada terdakwa.
Ø Ash-hubusyi-syafi’iy
menentukan minimal 5 orang, karena mengqiyaskan dengan jumlah para nabi yang
mendapat gelar ulul-azmi
Ø Sebagian ulama
menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang, berdasakan ketentuan yang di firmankan
oleh Allah swt dalam surah al-anfal ayat 65, tentang sugesti Allah terhadap
orang-orang yang tahan uji, yang hanya berjumlah 20 orang saja mampu
mengalahkan orang kafir sejumlah 200 orang.
Ø Ulama yang lain
menetapkan jumlah sekurang-kurangnya 40 orang yang mengqiyaskan pada firman
Allah surah al-anfal ayat 64 “ya nabi cukuplah Allah dan orang-orang mukmin
yang mengikuti mu(menjadi penolongmu)” keadaan mukmin pada saat itu hanya
40 orang
Jumlah rawi-rawi yang telah
dikemukakan oleh para ulama yang ditentukan batas minimal dan maksimalnya,
tidak dapat dijadikan pegangan yang kuat, karenayang mereka kemukakan yang
mengambil qiyas terlalu jauh untuk mempertahan pendapat lemah dan menyimpang
dari pokok persoalannya.sesungguhnya yang terpenting apakah hadits itu
mutawatir atau bukan adalah dilihat dari segi adat, atau sudah memenuhi
bilangan bahwa para rawi tersebut sudahlah meyakinkan bahwa mereka mustahil
bersepakat untuk berdusta
c.
adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam thabaqah (lapisan) dengan
jumlah rawi-rawi dalam thabaqah berikutnya. Oleh karena itu, kalau suatu hadits
diriwayatkan oleh 10 orang sahabat umpamanya, kemudian di terima oleh 5 orang
tabi’in dan seterusnya hanya
diriwayatkan oleh 2 orang tabi’ut tabi’in saja, maka itu bukanlah hadits
mutawatir, sebab jumlah rawinya tidak seimbang antara thabaqah pertama sampai
thabaqah ketiga.
3.Eksistensi Hadits Mutawatir
Mengingat syarat hadits mutawatir sangat ketat, ibnu Hibban dan
Al-Hazimy menyatakan bahwa, hadits mutawatir lafdzi[6],
pendapat ini dibantah oleh Ibnu Shalah. Dia menyatakan, bahwa hadits mtawatir
(termasuk yang lafdzi) memang ada, hanya saja jumlahnya sangat sedikit.
Pendapat itu juga
dibantah oleh Ibnu Hajar Al-Asqalany. Menurutnya, Hadits mutawatir itu banyak
jumlahnya. Untuk mengetahuinya, dapat ditempuh dengan menyelidiki
riwayat-riwayat hadits serta kelakuan dan sifat para perwawi, sehingga dengan
demikian dapat diketahui dengan jelas tentang “kemustahilan perawi bersepakat
untuk berdusta”[7].
4.Kehujjahan atau Kedudukan Hadits Mutawatir
Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa keyakinan yang diperoleh dari
hadits mutawatir, karenanya hadits
mutawatir memfaidahkan ilmu dlarury, hingga membawa keyakinan kepada keyakinan
yang qath’iy (pasti). Oleh karena itu, petunjuk dari hadits mutawatir wajib di
amalkan, sebagaimana wajibnya mengamalkan petunjuk Al-Qur’an.
Dengan demikian,
maka hadits mutawatir dari segi wurud dan kandungannya, berkedudukan sama
dengan Al-Qur’an. Karenanya, mengingkari hadits mutawatir, sama dengan
mengingkari Al-Qur’an, dan orang yang mengingkari Al-Qur’an, dihukum kafir,
atau paling sedikit disebut sebagai orang mulhid, yaitu orang yang mengakui
keesaan Allah dan mengakui islam sebagai agama yang benar, akan tetapi tidak
mengakui Rasulullah saw sebagai utusan Allah[8]
5. Macam-Mcam Hadits Mutawatir
Hadits Mutawatir terbagi menjadi 2 bagian:
1.
Mutawatir Lafdzi
Yakni, Hadits Mutawatir yang
diriwayatkan dengan lafadz dan makna yang sama, serta kandungan hukum yang sama
pula.
Contoh hadits:
قال رسول الله
ص: من كذب علي متعمدا فليتبؤء مقعده من النار
Artinya: Rasulullah saw telah bersabda: siapa
saja yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menempati
tempat tinggalnya dineraka.
Keterangan:
a.
Menurut Al-Bazzar dalam buku yang saya kutip, karya Drs.
M.Syuhudi Ismail, bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh 20
orang sahabat. An-Nawawy juga menyatakan bahwa hadits itu diriwayatkan oleh 200
orang sahabat
b.
Lafazh-lafazh yang orang ceritakan hampir semua bersamaan
dengan contoh tersebut, diantaranya ada yang berbunyi begini:
(ابن ماجه)من تقول علي ما لم أقل فليتبوء مقعده من النار
Artinya: siapa saja yang mengada-ngadakan atas namaku, sesuatu yang
tidak pernah aku katakana, maka hendaklah ia mengambil tempat tempat duduknya dineraka.
Dan ada lagi:
ومن قال علي ما لم أقل فليتبوء مقعده من
النار(الحاكم)
Artinya: dan siapa saja yang berkata atas
namaku, sesuatu yang tidak pernah aku katakan, maka hendaklah ia mengambil
tempat duduknya dineraka.
c.
Dari ketiga contoh itu berarti tidak selalu Hadits
Mutawatir lafdzi itu sama persis lafadz antara satu dengan yang lainnya, karena
barangkali Rasulullah saw mengtakannya berulang-ulang kali[9]
2. Mutawatir Ma’nawy
Yakni, Hadits Mutawatir yang berasal dari berbagai hadits yang
diriwayatkan dengan lafadz yang berbeda-beda, tetapi apabila dihukumkan mempunyai makna umum yang sama
Contoh hadits:
مارفع ص يديه حتى روي بياض ابطيه فى شيئ من دعائه الا فى الاستسقاء "متفق عليه"
Artinya: Rasulullah saw tidak pernah mengankat
tanagnnya ketika berdo’a sampai nampak putih kedua ketiaknya, kecuali pada saat
melakukan shalat istisqha
Riwayat lain:
كان يرفع يديه حدو منكبيه "رواه احمد وابو داود والحاكم"
Artinya: (pada saat berdo’a) Rasulullah saw
mengangkat kedua tangannya, sejajar dengan pundaknya.
Keterangan:
a. Hadits tentang mengangkat tangan waktu berdo’a
diluar shalat.
Ada sekitar 100 hadits yang bila dikumpulkan , bahwa nabi berdo’a diluar shalat,
beliau selalu mengangkat tangan, diantara haditsnya adalah seperti pembahasan
diatas.[10]
Dan masih ada lagi contoh-contoh tentang
hadits mutawatir ma’nawy, diantaranya hadits tentang raka’at dalam shalat,
waktu shalat, adnya shalat Id, adanya shalat jenazah, dan sebagainya.
6. Kitab-Kitab yang Menghimpun Hadits
Mutawatir
1. Al-Azhar al-Mutanatsirah fi al-Akhbar
al-Mutawatirah, susunan imam Suyuthy.
2. Nadzmu al-Mutanasirah min al-Hadits
al-Mutawatir, susunan Muhammad bin Ja’far Al- Kattany (1345 H)
3.Qathful Azhar, susunan imam Suyuthy.
4.dll
BAB III
KESIMPULAN
1. Pengertian Hadits Mutawatir ialah hadits yang
diriwayatkan oleh banyak rawi , berdasarkan pancaindra, yang menurut adat
mustahil para rawi itu bersepakat untuk berdusta
2. Syarat Hadits Mutawatir adalah sanadnya harus
banyak, harus seimbang perawi antara thabaqah satu dengan yang lainnya
3. Kriteria Hadits Mutawatir ialah yang
terpenting jumlahnya tidak memungkinkan perawi
berdusta
4. Hadits Mutawatir ada dua macam, yaitu
Mutawatir lafdzy dan Mutawatir ma’nawy
5. Nilai kehujjahannya harus diterima tanpa
ragu-ragu
DAFTAR PUSTAKA
1.A.Qadir Hassan, ilmu musthalahul hadits.
cetakan ke-IV, Bandung, 1990.
2. Drs. M.syuhudi Ismail, pengantar ilmu
hadits. Bandung, 1987.
3. Dr.Nuruddin ‘Itr, ulumul hadits. Cet.II,
Bandung, 2012.
4. Drs. M.Agus Solahuddin, M.Ag. dan Agus
Suyadi, Lc.,M.Ag. ulumul hadits. Bandung, 2008.
5. Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag. dan Saifuddin
Nur, M.Ag. ulumul hadits. Bandung, 2011.
6. Drs. Fatchur Rahman ikhtisal musthalahul
hadits. Cet.12, Yogyakarta, 1970.
[1] T.M. Hasybi Asy-syiedieqy. Sejarah pengantar ilmu hadits.
Jakarta: Bulan Bintang. 1988. Hlm. 200
[3] Drs. Fatchur Rahman. Ikhtisar musthalahul hadits. Yogyakarta:
Al-Ma’arif. 1970. Hlm. 78.
[4] Drs.M.Syahudi Ismail. Penngantar ilmu hadits. Bandung:
Angkasa. 1987. Hlm. 135
[5] Opcit. Hlm.79.
[6] Akan di bahas di halaman berikutnya
[7] Opcit. Hlm. 139.
[8] Ibid. hlm. 139-140.
ASSALAMU'ALAIKUM, TERIMAKASIH ATAS CURAHAN ILMUNYA IJIN COPI UNTUK BAHAN DAKWAH
BalasHapus