A. Pendahuluan
Pembahasan seputar Hadits Ahad sudah menjadi polemik sepanjang
masa. Selama para pengikut masing-masing pihak yang berpolemik masih ada, maka
selama itu pula perdebatan seputar hal itu tetap berlangsung, kecuali sampai
batas yang dikehendaki oleh Allah. Sekalipun demikian, yang menjadi tolok ukur
suatu kebenaran adalah sejauh mana berpegangan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah
melalui argumentasi-argumentasi yang kuat, valid dan meyakinkan.
Ada golongan yang berkeyakinan dan keyakinannya itu salah, bahwa
Hadits Ahad bukan hujjah bagi ‘aqidah. Karena menurut mereka, Hadits Ahad itu
bukan Qath’iy ats-Tsubut (keberadaan/sumbernya pasti), maka mereka menganggap
hadits tersebut tidak dapat memberikan informasi pasti.
B. Definisi Hadits Ahad
Ahad menurut bahasa mempunyai arti satu. Dan khabarul wahid adalah
yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan hadits ahad menurut istilah adalah
hadits yang belum memenuhi syarat-syarat mutawatir.1
Hadits Ahad terbagi pada tiga macam, yaitu Masyhur, Aziz, dan
Gharib. Bila dilihat dari segi kuat dan lemahnya dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu maqbul (diterima) dan mardud (ditolak).2
C. Pembagian Hadits Ahad
Hadits Ahad terbagi pada tiga macam, yaitu Masyhur, Aziz, dan
Gharib. Pembagian ini tidak bertentangan dengan pembagian hadits Ahad kepada Shahih,
Hasan, dan Dha’if. Sebab membagi hadits Ahad kepada tiga macam tersebut bukan
bertujuan langsung untuk menentukan makbul dan mardudnya suatu hadits, tetapi
bertujuan untuk mengetahui banyak atau sedikitnya sanad. Sedang membagi hadits
Ahad kepada Shahih, Hasan, dan Dha’if adalah bertujuan untuk menentukan dapat
diterima atau ditolaknya suatu hadits.3
Dengan demikian, hadits Masyhur dan Aziz itu masing-masing ada yang
shahih, hasan, dan dha’if. Juga tidak setiap hadits Gharib itu tentu dha’if. Ia
adakalanya shahih, apabila memenuhi syarat-syarat yang dapat diterima dan tidak bertentangan
dengan hadits yang lebih rajah. Hanya saja pada umumnya hadits Gharib itu dha’if,
dan kalau ada yang shahih, itu pun hanya sedikit sekali.
Menurut Imam Malik, bahwa sejelek-jeleknya ilmu hadits itu, ialah
yang gharib, dan yang sebaik-baiknya
ialah yang jelas serta ditenarkan oleh orang banyak.4
‘Ali bin al-Husain berpendapat, bahwa yang dikatakan hadits yang
baik itu, ialah yang dikenal dan dipopulerkan dalam pembicaraan oleh
masyarakat.
Imam Ahmad bin Hanbal melarang seseorang mencatat hadits Gharib,
ujarnya:
لا
تكتبوا هذه الاحاديث الغراءب فانها مناكير وعامتها عن الضعفاء
“Jangan kamu mencatat hadits-hadits
Gharib, lantaran hadits-hadits Gharib itu mungkar-mungkar, dan pada umumnya
berasal dari orang-orang lemah”5
Pada dasarnya hadits Ahad yang diterima itu menunjukkan zhan yang
kuat akan kebenaran hadits tersebut, dan tidak menunjukkan keyakinan yang
aksiomatik seperti yang ditunjukkan oleh hadits yang mutawatir.
Namun hadits ahad yang memiliki qarinah (dalil penguat) itu
jauh lebih kuat dan didahulukan daripada hadits ahad yang tidak mempunyai qarinah.
Sampai-sampai para Ulama hadits berkata bahwa hadits ahad yang tidak memiliki qarinah
itu memberikan setingkat ilmu nazhary, yaitu butuh dicarikan dalil dan
diteliti.6
Hadits ahad yang memiliki qarinah (dalil penguat) bermacam-macam
jenisnya:
1.
Hadits ahad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.
Dimana hadits-hadits tersebut tidak sampai kepada tingkat
mutawatir.
Sedangkan qarinah yang dimilikinya adalah:
a.
Keahlian mereka dalam bidang ini.
b.
Keketatan mereka dalam memilah hadits shahih dari pada ulama-ulama
lain.
c.
Umat Islam telah menerima karya hadits mereka berdua. Penerimaan
itu saja sudah merupakan qarinah yang lebih kuat dalam menunjukkan ilmu
daripada qarinah melalui banyaknya jalur sanad.
2.
Hadits Masyhur yang memiliki banyak jalur sanad yang kesemua jalur
tersebut berbeda-beda dan di dalamnya tidak ada perawi-perawi yang lemah serta
selamat dari ‘illat hadits (sebab yang sulit terdeteksi yang dapat
menjadikan sebuah hadits tertolak, yang
jika dilihat sepintas seakan-akan hadits tersebut shahih).
3.
Hadits yang diriwayatkan secara berkelanjutan (musalsal)
oleh para Ulama hadits yang terpercaya dan teliti, sehingga hadits tersebut
tidak asing lagi. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Asy-Syafi’i
dari Imam Malik. Ketika Imam Ahmad meriwayatkannya ada ulama lain yang menyertainya, dan tatkala
Imam Asy-Syafi’i meriwayatkannya dari
Imam Malik pun ada Ulama yang menyertainya dalam periwayatan.
Ketiga jenis hadits Ahad tersebut
di atas dikategorikan menjadi tiga bagian:
Bagian pertama mencakup hadits-hadits yang ada dalam kitab Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim.
Bagian kedua mencakup hadits-hadits yang mempunyai banyak jalur
sanad.
Bagian ketiga mencakup hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para
imam dan ulama.
Jika hadits Ahad mempunyai
ketiga kriteria di atas, maka kita dapat memastikan keabsahan hadits tersebut.
D. Pendapat para ulama mengenai Hadits Ahad
Sayyid Qutub dalam tafsir Fi Dzilalil Quran menyatakan, bahwa hadits ahad tidak bisa dijadikan sandaran
(hujjah) dalam menerima masalah ‘aqidah. Al-Quranlah rujukan yang benar, dan
kemutawatirannya adalah syarat dalam menerima pokok-pokok ‘aqidah .7
Imam Syaukani menyatakan, “Khabar ahad adalah berita yang dari
dirinya sendiri tidak menghasilkan keyakinan. Ia tidak menghasilkan keyakinan
baik secara asal, maupun dengan adanya qarinah dari luar. Ini adalah pendapat
jumhur ‘ulama. Imam Ahmad menyatakan bahwa, khabar ahad dengan dirinya sendiri
menghasilkan keyakinan. Riwayat ini diketengahkan oleh Ibnu Hazm dari Dawud
al-Dzahiriy, Husain bin ‘Ali al-Karaabisiy dan al-Harits al-Muhasbiy.’
Prof Mahmud Syaltut menyatakan, ‘Adapun jika sebuah berita
diriwayatkan oleh seorang, maupun sejumlah orang pada sebagian thabaqat –namun
tidak memenuhi syarat mutawatir —maka khabar itu tidak menjadi khabar mutawatir
secara pasti jika dinisbahkan kepada Rasulullah saw. Ia hanya menjadi khabar
ahad. Sebab, hubungan mata rantai sanad yang sambung hingga Rasulullah saw
masih mengandung syubhat (kesamaran). Khabar semacam ini tidak menghasilkan
keyakinan (ilmu) .”8
Beliau melanjutkan lagi, ‘Sebagian ahli ilmu, diantaranya adalah
imam empat (madzhab) , Imam Malik, Abu Hanifah, al-Syafi’iy dan Imam Ahmad
dalam sebuah riwayat menyatakan bahwa hadits ahad tidak menghasilkan
keyakinan.”
Imam Asnawiy menyatakan, “Sedangkan sunnah, maka hadits ahad tidak
menghasilkan apa-apa kecuali dzan ”
Imam Bazdawiy menambahkan lagi, ‘Khabar ahad selama tidak
menghasilkan ilmu tidak boleh digunakan hujah dalam masalah i’tiqad
(keyakinan). Sebab, keyakinan harus didasarkan kepada keyakinan. Khabar ahad
hanya menjadi hujjah dalam masalah amal. ”
Al-Qadliy berkata, di dalam Syarh Mukhtashar Ibn al-Haajib berkata,
“’Ulama berbeda pendapat dalam hal hadits ahad yang adil, dan terpecaya, apakah
menghasilkan keyakinan bila disertai dengan qarinah. Sebagian menyatakan, bahwa
khabar ahad menghasilkan keyakinan dengan atau tanpa qarinah. Sebagian lain
berpendapat hadits ahad tidak menghasilkan ilmu, baik dengan qarinah maupun
tidak.”
Syeikh Jamaluddin al-Qasaamiy, berkata, “Jumhur kaum muslim, dari
kalangan shahabat, tabi’in, dan ‘ulama-ulama setelahnya, baik dari kalangan
fuqaha’, muhadditsin, serta ‘ulama ushul; sepakat bahwa khabar ahad yang tsiqah
merupakan salah satu hujjah syar’iyyah; wajib diamalkan, dan hanya menghasilkan
dzan saja, tidak menghasilkan ‘ilmu.”
Dr. Rifat Fauziy, berkata, “Hadits ahad adalah hadits yang
diriwayatkan oleh seorang,dua orang, atau lebih akan tetapi belum mencapai
tingkat mutawatir, sambung hingga Rasulullah saw. Hadits semacam ini tidak
menghasilkan keyakinan, akan tetapi hanya menghasilkan dzan. Akan tetapi,
jumhur ‘Ulama berpendapat bahwa beramal dengan hadits ahad merupakan
kewajiban.”
Issa ibn Aban (w. 220 H), murid dari Imam Hasan As-Shaibani (w. 189
H) dalam bukunya menyatakan secara jelas: “ Hadis Ahad tidak dijadikan dalil
dalam masalah aqidah, tetapi sebagai dalil amal perbuatan ”.
Ali ibn Musa al –Qummi (w. 305 H), dalam kitabnya (Khobar Ahad)
menyatakan: “Hadis Ahad tidak dijadikan dalil dalam masalah aqidah, tetapi
dalil dalam masalah amal perbuatan ”.
Imam At-Thobari (w. 310 H), dari Imam Al-Sarkhasi (Ushul
Al-sarkhasi), Imam At-Thobari menyatakan: “Hadis Ahad tidak dijadikan dalil
dalam masalah aqidah, tetapi dalil dalam masalah amal perbuatan ”.
E. Pendapat Para Ulama
Hambaliyah
Imam Ahmad bin Hambal berpendapat yang dikutip oleh Imam Muhammad
Abu Zahra: “ Kami memandang bahwa Imam Ahmad dalam masalah Aqidah berpegang
pada dalil-dalil syara’ ( secara Manqul), tidak tunduk kepada hasil akal
semata. Beliau adalah seorang Ulama Ahli Sunnah. Maka Imam Ahmad berpegang pada
nash yang ditegakkan berdasarkan dalil Qoth’I karena ia (dalil qoth’I yaitu
Al-qur’an dan Hadis Mutawatir –pent) berasal dari Allah SWT dan juga dengan
ucapan Rasul yang Qoth’I juga berasal dari Allah SWT.” 9
Abu Bakar Al-Astram mengutip tulisan Abu Hafs Umar bin Badr
menyatakan, bahwa Imam Ahmad telah berkata: “Jika ada hadis ahad mengenai
hukum, dia harus diamalkan. Saya berkeyakinan demikian, tetapi saya tidak
menyaksikan bahwa Nabi saw., benar-benar menyatakan demikian” ( Ma’anil Hadis).
Abu Ya’la, menyatakan: “Apabila umat sepakat atas hukumnya dan
sepakat untuk menerimanya, maka hadis ahad berfaedah yakin dan tidak ada
keraguan didalamnya ( jika umat tidak sepakat, berarti hadis ahad kembali pada
status asalnya yaitu dalil yang menghasilkan Dzon –pent)”10.
Abu Muhammad, menegaskan: “Hadis Ahad tidak berfaedah qoth’i. Dan
inilah pendapat kebanyakan pendukung dan Ulama Mutaakhirin dari pengikut Imam
Ahmad” 11
Abu Khatab ( Murid Imam Hambali) menyatakan: “ Ijma’ yang
diriwayatkan secara Ahad tidak Qoth’I, tetapi digunakan sebagai dalil masalah
amal perbuatan”.
Menurut sebagian Ulama Hambaliyah bahwa hadis ahad tidak boleh
dipakai untuk mentakhsis ayat-ayat Al-Qur’an yang ‘Aam dan pendapat ini diikuti
oleh Ahli Dzohhir (pengikut dari Abu Dawud Adh-Dhohhiri) 12
F. Pendapat Para Ulama Syafi’iyah
Imam Syafi’i berpendapat bahwa hadis ahad tidak dapat menghapus
hukum dari Al-Qur’an , karena Al-Qur’an adalah Mutawatir.13
Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali (w.
505 H) berkata: “Tatkala sebuah hadis terbukti sebagai hadis Ahad, maka in
tidak berfaedah Ilmu\Dzoni dan masalah ini sudah diketahui dengan jelas dalam
Islam (ma’lumun bi al-Dharuri)”. Lalu beliau melanjutkan penjelasannya:
‘’Adapun pendapat para Ahli hadis bahwa ia (hadis Ahad-pent) adalah
menghasilkan Ilmu\qoth’I adalah hadis Ahad yang wajib untuk diamalkan dan
ketentuan ini ditetapkan berdasarkan dalil-dalil Qoth’i.14
Imam Abu Al-Hasan Saifudin Al-Amidi (w. 631), beliau berkata :
‘’Bahwa maslah Aqidah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qoth’I, sedang masalah
furu’ cukup ditetapkan dengan dalil-dalil dzoni’’. Lalu menambahkan: ‘’Barang
siapa menolak Ijma’ (konsensus-pent) dalam masalah ini telah gugur pendapatnya,
dengan adanya kasus pada masalah fatwa dan kesaksian. Perbedaan antara masalah
Ushul dan furu’ adalah sangat jelas. Mereka yang menyamakan masalah ushul dan
masalah furu’ berarti telah membuat hukum sendiri, hal ini adalah sesuatu yang
mustahil dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang sombong dan arogan’’15
Imam Abu Zakariya Muhyidin Al-Nawawi (w. 676 H), dalam pengantar
syarah Shohih Muslim ketika membahas kelemahan pendapat Ibn Sholah yang
menyatakan bahwa Hadis Ahad adalah Qoth’i. Setelah menulil pernyataan Ibn
Sholah, beliau menegaskan : ‘’Pendapat ini menyalahi pendapat para Ahli Tahqiq
dan jumhur Ulama, walaupun hadis tersebut ada dalam kitab shohihain selama
tidak mencapai derajat mutawatir, maka hadis itu menghasilkan dzon. Dalam
masalah ini Imam Bukhari, Imam Muslim dan para Imam Hadis lainnya dihukumi
dengan cara yang sama” . Ibnu Burhan dan Ib Abdis salam pun menentang pendapat
Ibn Sholah diatas.16
Al-Hafidz Ibn Hajar (w. 852 H) menyatakan dengan menukil pendapat
Imam Yusuf Al-Kirmani bahwa : “Hadis ahad tidak dijadikan dalil dalam masalah
aqidah’’ 17
Imam Jalaludin Abdur Rahman bin Kamaludin As-Suyuti (w. 911 H)
menyatakan : ‘’ hadis Ahad tidak Qoth’I dan tidak dapat dijadikan dalil dalam
masalah Ushul atau Aqidah” (Tadrib Al-Rawi Fi Syarh Taqrib Al-Nawawi) dan juga
lihat pada kitabnya yang lain (Al-Itqon Fi Ulum Al-Qur’an juz 1\hal. 77 dan juz
2\hal.5).
G. Pendapat Para Ulama Malikiyah
Imam Al-Hafidz Abu Nu’aim Al-Isfahani (w 430 H) berkata : “Hadis
Ahad tidak menghasilkan Ilmu\dzoni, tetapi dapat dijadikan dalil dalam cabang
Hukum Syari’at”.
Ulama-ulama Malikiyah tidak mengamalkan hadis ahad yang
bertentangan dengan amal Ahli Madinah (Ilmu Mustholah Hadis ; Ust. Moh. Anwar
Bc. Hk, hal. 32).
Imam Malik ra. menegaskan : “Hadis Ahad apabila bertentangan dengan
Qowa’id (kaidah-kaidah), maka ia tidak diamalkan (Fathul Bari juz 4\hal. 156).
H. Pernyataan Dari Ulama Lainnya
Imam Asnawi menyatakan : “Syara’ memperbolehkan dalil dzoni dalam
masalah-masalah amaliyah yaitu masalah furu’ tanpa amaliyah dalam masalah
Qowaid Ushul Ad-din. Demikianlah Qowaid Ushul Ad-din sebagaimana dinukil oleh
Al-Anbari dalam Kitab Syarah burhan dari para Ulama yang terpercaya”18
Imam Ibn Taimiyah berkata : “ khobar ahad yang telah diterima
(terbukti shohih-pent) wajib mewajibkan ilmu menurut Jumhur sahabat Abu hanafi,
Imam Malikl, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad. Dan ini merupakan pendapat kebanyakan
sahabat Imam Asy’ari seperti Al-Asfaraini dan Ibn faruk. Tetapi hadis Ahad
hukum asalnya tidak berfaedah kecuali dzoni. Bila ia didukung dengan ijma’
ahlul ilmi dengan hadis lainnya maka ia dapat memberi faedah yang pasti. (naik
derajatnya menjadi hadis mutawatir maknawi –pent)19
Imam Jamaluddin Al-Qosimi menyatakan : “Sesungguhnya jumhur kaum
muslimin dari kalangan sahabat, tabi’in, golongan setelah mereka dari kalangan
fuqoha, ahli hadis, dan ulama ushul berpendapat bahwa hadis ahad yang
terpercaya dapat dijadikan hujjah dalam masalah tasyri’ yang wajib diamalkan,
tetapi hadis ahad ini hanya menghantarkan pada Dzon tidak sampai derajat ilmu
(yakin)”20
Imam Kasani menyatakan : “Pendapat sebagian besar fukoha menerima
hadis ahad yang terpercaya dan adil serta diamalkan dalam masalah tasyri’
kecuali masalah aqidah, sebab I’tiqod wajib dibangun dengan dalil-dalil yang
qoth’I, yang tidak ada keraguan didalamnya, sementara masalah amal (tasyri’)
cukup dengan dalil yang rajih (kuat) saja”21
Imam Abi Muhammad Abdurrahim bin Hasan Al-Asnawi (w. 772 H),
berkata: “Hadis Ahad hanya menghasilkan persangkaan saja. Allah SWT membolehkan
hanya dalam massalah amaliyah (tasyri’), yang menjadi cabang-cabang agama,
bukan masalah ilmiah seperti kaidah-kaidah pokok hukum agama”22
I. Pendapat Para Ulama Kontemporer
Syeikh DR. Rif’at Fauzi menegaskan: ‘’Hadis semacam ini (hadis
ahad) tidak berfaedah yakin dan qoth’i. Ia hanya menghasilkan Dzon’’.
Syeikh DR. Abdurahman Al-Baghdadi, menyatakan: “Para Ulama sepakat
bahwa hadis Ahad tidak menghasilkan keyakinan dan tidak digunakan sebagai dalil
dalam masalah Aqidah”23
Syeikh DR. Muhammad Wafa’ menegaskan bahwa: ‘’Menurut Mayoritas
Ulama hadis-hadis Rasul SAW terbagi menjadi dua, yaitu hadis Mutawatir dan
Hadis Ahad. Sedang Ulama Hanafiyah menambahkan satu, yaitu hadis masyhur‘’.
Kemudian veliau melanjutkan pembahasannya: ‘’Sedang Hadis Ahad adalah hadis
yang diriwayatkan oleh seorang perawi atau lebih yang tidak mencapai batas
Muatawatir. Ia memberikan keraguan, serta tidak dapat memberikan ketenangan dan
keyakinan’’24
Prof. DR. Mukhtar Yahya dan Prof. Fatchurrahman menegaskan bahwa
Hadis ahad tidak dapat digunakan untuk menetapkan sesuatu yang berhubungan
dengan aqidah dan tidak pula untuk menetapkan hukum wajibnya suatu amal.25
Ust. Moh. Anwar Bc.Hk juga menegaskan bahwa para Muhaqqiqin
menetapkan hadis ahad shohih diamalkan dalam bidang amaliyah baik masalah
ubudiyah maupun masalah-masalah mu’amalah, tetapi tidak dalam masalah
aqidah/keimanan karena keimanan\keyakinan harus ditegakkan atas dasar dalil yang
Qoth’I, sedangkan hadis ahad hanya memberikan faedah Dzonni.26
Maulana M. rahmatulah Kairanvi berkata tatkala membela hadis dan autentitasnya dari serangan
para orientalis : “Hadis Ahad adalah jenis hadis yang diriwayatkan dari seorang
perawi kepada seorang perawi lainnya atau sekelompok perawi, atau sekelompok
perawi kepada seorang perawi”. Selanjutnya beliau mengatakanbahwa: “Hadis Ahad
tidak menghasilkan kepastian sebagaimana dua contoh diatas. Hadis ini tidak
dapat dijadikan sebagai dalil dalam masalah aqidah, tetapi diterima sebagai
dalil dalam masalah amaliyah praktis”27
J. Kesimpulan’
Dari bermacam-macam pendapat para ulama dapat disimpulkan bahwa
hadits ahad yang bersifat dzonni tidak bisa dijadikan sandaran dalam masalah
aqidah yang bersifat qoth’i.
Footnote:
1. Terjemah mabahits fii ‘ulumil hadits-Manna’
al-qoththon;pengantar studi ilmu hadits-Mifdhol Abdurrahman hal.113
2. ibid
3. Lihat ikhtisar mustholahul hadits-Drs. Fathurrahman hal.111
4. ibid
5. Syarah-Alfiyah, Muhyiddin ‘Abdul Hamid, hal.99;At-Tarmusy,
hal.67
6. Pengantar Studi Ilmu Hadits, Mifdhol Abdurrahman Lc.
terj.mabahits fii ‘ulumil qur’an, Manna’ al-Qoththon
7. Sayyid Qutub –> Sayyid Qutub, Fi Dzilalil Quran, juz 30, hal.
293-294
8. Prof Mahmud Syaltut –> Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, ed.III,
1966, Daar al-Qalam, hal. 63.
9. Lihat Tarikh Al-Madzhib Al-Islamiyah
10. ibid
11. Lihat Kitab Raudhah.hal. 506
12. Ilmu Mustholah Hadis ; Ust. Moh. Anwar Bc. Hk, hal. 31).
13. Ilmu Mustholah Hadis ; Ust. Moh. Anwar Bc. Hk, hal. 31).
14. Yang menghasilkan Ilmu\qoth’i-pent” ( Al-Mustasfa min Ilm’
al-Ushul juz 1\hal 145-146 -pent).).
15. Lihat Al-Ihkam fi Ushuli Al-Ahkam Imam Al-Amidi juz I\hal.
71-72; Al-Ihkam fi Ushuli Al-Ahkam Imam Ibn Hazm juz I\hal. 114 -pent
16. Syarah Shohih Muslim juz 1\hal. 130-131.
17. Fathul bari juz 8, bab khobar Ahad.
18. Nihayah Fi Ilm’ Al-Ushul.
19. Lihat Majmu Fatwa juz 18, hal. 41.
20. Qawaidut Tahdis, hal. 147-148.
21. Badaa’iu shanaa’I juz 1\hal. 20.
22. Syarh Asnawi Nihayah as-Saul Syarh Minhaju Al-Wushul Ila Ilmi
Al-Ushul Al-Baidhawi, juz 1\hal. 214.
23. Lihat Kitab Radu’ alal Kitab Ad-Da’wah Al-Islamiyah hal 191.
24. Lihat kitab Ta’arudh al-adilati As-Syar’iyati min Al-Kitabi Wa
As-Sunnahi Wa At-Tarjihu Bainaha, hal. 70.
25. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam; hal 54.
26. Ilmu Mustholah Hadits, hal. 31.
27. Izhar Al-Haq juz 4.
Daftar Pustaka
‘Itr, Nuruddin. 2012. ‘ulumul hadits. Dar al-fikr Damaskus.
PT. Remaja Rosdakarya.
Thahan, Mahmud. Taisir
mushtolah hadits. Al-haromain, Indonesia.
Drs. Fatchur Rahman. 1974. Ikhtisar mushthalahul hadits. PT.
Al-Ma’arif.
Iskandar, Sofwan. 2011. Ilmu Hadits. CV. Arya Duta.
Khaerumman, Badri. 2010. Ulum Al-Hadits. Pustaka Setia,
Bandung.
Abdurrahman, Mifdhol. 2006. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Pustaka
al-Kautsar, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar