Senin, 26 September 2016

Polemik Hadist Ahad

A. Pendahuluan
Pembahasan seputar Hadits Ahad sudah menjadi polemik sepanjang masa. Selama para pengikut masing-masing pihak yang berpolemik masih ada, maka selama itu pula perdebatan seputar hal itu tetap berlangsung, kecuali sampai batas yang dikehendaki oleh Allah. Sekalipun demikian, yang menjadi tolok ukur suatu kebenaran adalah sejauh mana berpegangan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah melalui argumentasi-argumentasi yang kuat, valid dan meyakinkan.
Ada golongan yang berkeyakinan dan keyakinannya itu salah, bahwa Hadits Ahad bukan hujjah bagi ‘aqidah. Karena menurut mereka, Hadits Ahad itu bukan Qath’iy ats-Tsubut (keberadaan/sumbernya pasti), maka mereka menganggap hadits tersebut tidak dapat memberikan informasi pasti.

B. Definisi Hadits Ahad
Ahad menurut bahasa mempunyai arti satu. Dan khabarul wahid adalah yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan hadits ahad menurut istilah adalah hadits yang belum memenuhi syarat-syarat mutawatir.1
Hadits Ahad terbagi pada tiga macam, yaitu Masyhur, Aziz, dan Gharib. Bila dilihat dari segi kuat dan lemahnya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu maqbul (diterima) dan mardud (ditolak).2
C. Pembagian Hadits Ahad
Hadits Ahad terbagi pada tiga macam, yaitu Masyhur, Aziz, dan Gharib. Pembagian ini tidak bertentangan dengan pembagian hadits Ahad kepada Shahih, Hasan, dan Dha’if. Sebab membagi hadits Ahad kepada tiga macam tersebut bukan bertujuan langsung untuk menentukan makbul dan mardudnya suatu hadits, tetapi bertujuan untuk mengetahui banyak atau sedikitnya sanad. Sedang membagi hadits Ahad kepada Shahih, Hasan, dan Dha’if adalah bertujuan untuk menentukan dapat diterima atau ditolaknya suatu hadits.3
Dengan demikian, hadits Masyhur dan Aziz itu masing-masing ada yang shahih, hasan, dan dha’if. Juga tidak setiap hadits Gharib itu tentu dha’if. Ia adakalanya shahih, apabila memenuhi syarat-syarat  yang dapat diterima dan tidak bertentangan dengan hadits yang lebih rajah. Hanya saja pada umumnya hadits Gharib itu dha’if, dan kalau ada yang shahih, itu pun hanya sedikit sekali.
Menurut Imam Malik, bahwa sejelek-jeleknya ilmu hadits itu, ialah yang gharib, dan yang sebaik-baiknya  ialah  yang  jelas serta ditenarkan oleh orang banyak.4
‘Ali bin al-Husain berpendapat, bahwa yang dikatakan hadits yang baik itu, ialah yang dikenal dan dipopulerkan dalam pembicaraan oleh masyarakat.
Imam Ahmad bin Hanbal melarang seseorang mencatat hadits Gharib, ujarnya:
لا تكتبوا هذه الاحاديث الغراءب فانها مناكير وعامتها عن الضعفاء
Jangan kamu mencatat hadits-hadits Gharib, lantaran hadits-hadits Gharib itu mungkar-mungkar, dan pada umumnya berasal dari orang-orang lemah”5
Pada dasarnya hadits Ahad yang diterima itu menunjukkan zhan yang kuat akan kebenaran hadits tersebut, dan tidak menunjukkan keyakinan yang aksiomatik seperti yang ditunjukkan oleh hadits yang mutawatir.
Namun hadits ahad yang memiliki qarinah (dalil penguat) itu jauh lebih kuat dan didahulukan daripada hadits ahad yang tidak mempunyai qarinah. Sampai-sampai para Ulama hadits berkata bahwa hadits ahad yang tidak memiliki qarinah itu memberikan setingkat ilmu nazhary, yaitu butuh dicarikan dalil dan diteliti.6
Hadits ahad yang memiliki qarinah (dalil penguat) bermacam-macam jenisnya:
1.      Hadits ahad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.
Dimana hadits-hadits tersebut tidak sampai kepada tingkat mutawatir.
Sedangkan qarinah yang dimilikinya adalah:
a.       Keahlian mereka dalam bidang ini.
b.      Keketatan mereka dalam memilah hadits shahih dari pada ulama-ulama lain.
c.       Umat Islam telah menerima karya hadits mereka berdua. Penerimaan itu saja sudah merupakan qarinah yang lebih kuat dalam menunjukkan ilmu daripada qarinah melalui banyaknya jalur sanad.
2.      Hadits Masyhur yang memiliki banyak jalur sanad yang kesemua jalur tersebut berbeda-beda dan di dalamnya tidak ada perawi-perawi yang lemah serta selamat dari ‘illat hadits (sebab yang sulit terdeteksi yang dapat menjadikan sebuah hadits tertolak, yang  jika dilihat sepintas seakan-akan hadits tersebut shahih).
3.      Hadits yang diriwayatkan secara berkelanjutan (musalsal) oleh para Ulama hadits yang terpercaya dan teliti, sehingga hadits tersebut tidak asing lagi. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Asy-Syafi’i dari Imam Malik. Ketika Imam Ahmad meriwayatkannya  ada ulama lain yang menyertainya, dan tatkala Imam Asy-Syafi’i meriwayatkannya  dari Imam Malik pun ada Ulama yang menyertainya dalam periwayatan.

Ketiga jenis hadits Ahad tersebut  di atas dikategorikan menjadi tiga bagian:
Bagian pertama mencakup hadits-hadits yang ada dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Bagian kedua mencakup hadits-hadits yang mempunyai banyak jalur sanad.
Bagian ketiga mencakup hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para imam dan ulama.
Jika hadits Ahad  mempunyai ketiga kriteria di atas, maka kita dapat memastikan keabsahan hadits tersebut.

D. Pendapat para ulama mengenai Hadits Ahad
Sayyid Qutub dalam tafsir Fi Dzilalil Quran menyatakan, bahwa  hadits ahad tidak bisa dijadikan sandaran (hujjah) dalam menerima masalah ‘aqidah. Al-Quranlah rujukan yang benar, dan kemutawatirannya adalah syarat dalam menerima pokok-pokok ‘aqidah .7
Imam Syaukani menyatakan, “Khabar ahad adalah berita yang dari dirinya sendiri tidak menghasilkan keyakinan. Ia tidak menghasilkan keyakinan baik secara asal, maupun dengan adanya qarinah dari luar. Ini adalah pendapat jumhur ‘ulama. Imam Ahmad menyatakan bahwa, khabar ahad dengan dirinya sendiri menghasilkan keyakinan. Riwayat ini diketengahkan oleh Ibnu Hazm dari Dawud al-Dzahiriy, Husain bin ‘Ali al-Karaabisiy dan al-Harits al-Muhasbiy.’
Prof Mahmud Syaltut menyatakan, ‘Adapun jika sebuah berita diriwayatkan oleh seorang, maupun sejumlah orang pada sebagian thabaqat –namun tidak memenuhi syarat mutawatir —maka khabar itu tidak menjadi khabar mutawatir secara pasti jika dinisbahkan kepada Rasulullah saw. Ia hanya menjadi khabar ahad. Sebab, hubungan mata rantai sanad yang sambung hingga Rasulullah saw masih mengandung syubhat (kesamaran). Khabar semacam ini tidak menghasilkan keyakinan (ilmu) .”8
Beliau melanjutkan lagi, ‘Sebagian ahli ilmu, diantaranya adalah imam empat (madzhab) , Imam Malik, Abu Hanifah, al-Syafi’iy dan Imam Ahmad dalam sebuah riwayat menyatakan bahwa hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan.”
Imam Asnawiy menyatakan, “Sedangkan sunnah, maka hadits ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali dzan ”
Imam Bazdawiy menambahkan lagi, ‘Khabar ahad selama tidak menghasilkan ilmu tidak boleh digunakan hujah dalam masalah i’tiqad (keyakinan). Sebab, keyakinan harus didasarkan kepada keyakinan. Khabar ahad hanya menjadi hujjah dalam masalah amal. ”
Al-Qadliy berkata, di dalam Syarh Mukhtashar Ibn al-Haajib berkata, “’Ulama berbeda pendapat dalam hal hadits ahad yang adil, dan terpecaya, apakah menghasilkan keyakinan bila disertai dengan qarinah. Sebagian menyatakan, bahwa khabar ahad menghasilkan keyakinan dengan atau tanpa qarinah. Sebagian lain berpendapat hadits ahad tidak menghasilkan ilmu, baik dengan qarinah maupun tidak.”
Syeikh Jamaluddin al-Qasaamiy, berkata, “Jumhur kaum muslim, dari kalangan shahabat, tabi’in, dan ‘ulama-ulama setelahnya, baik dari kalangan fuqaha’, muhadditsin, serta ‘ulama ushul; sepakat bahwa khabar ahad yang tsiqah merupakan salah satu hujjah syar’iyyah; wajib diamalkan, dan hanya menghasilkan dzan saja, tidak menghasilkan ‘ilmu.”
Dr. Rifat Fauziy, berkata, “Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang,dua orang, atau lebih akan tetapi belum mencapai tingkat mutawatir, sambung hingga Rasulullah saw. Hadits semacam ini tidak menghasilkan keyakinan, akan tetapi hanya menghasilkan dzan. Akan tetapi, jumhur ‘Ulama berpendapat bahwa beramal dengan hadits ahad merupakan kewajiban.”
Issa ibn Aban (w. 220 H), murid dari Imam Hasan As-Shaibani (w. 189 H) dalam bukunya menyatakan secara jelas: “ Hadis Ahad tidak dijadikan dalil dalam masalah aqidah, tetapi sebagai dalil amal perbuatan ”.
Ali ibn Musa al –Qummi (w. 305 H), dalam kitabnya (Khobar Ahad) menyatakan: “Hadis Ahad tidak dijadikan dalil dalam masalah aqidah, tetapi dalil dalam masalah amal perbuatan ”.
Imam At-Thobari (w. 310 H), dari Imam Al-Sarkhasi (Ushul Al-sarkhasi), Imam At-Thobari menyatakan: “Hadis Ahad tidak dijadikan dalil dalam masalah aqidah, tetapi dalil dalam masalah amal perbuatan ”.
E. Pendapat  Para Ulama Hambaliyah
Imam Ahmad bin Hambal berpendapat yang dikutip oleh Imam Muhammad Abu Zahra: “ Kami memandang bahwa Imam Ahmad dalam masalah Aqidah berpegang pada dalil-dalil syara’ ( secara Manqul), tidak tunduk kepada hasil akal semata. Beliau adalah seorang Ulama Ahli Sunnah. Maka Imam Ahmad berpegang pada nash yang ditegakkan berdasarkan dalil Qoth’I karena ia (dalil qoth’I yaitu Al-qur’an dan Hadis Mutawatir –pent) berasal dari Allah SWT dan juga dengan ucapan Rasul yang Qoth’I juga berasal dari Allah SWT.” 9
Abu Bakar Al-Astram mengutip tulisan Abu Hafs Umar bin Badr menyatakan, bahwa Imam Ahmad telah berkata: “Jika ada hadis ahad mengenai hukum, dia harus diamalkan. Saya berkeyakinan demikian, tetapi saya tidak menyaksikan bahwa Nabi saw., benar-benar menyatakan demikian” ( Ma’anil Hadis).
Abu Ya’la, menyatakan: “Apabila umat sepakat atas hukumnya dan sepakat untuk menerimanya, maka hadis ahad berfaedah yakin dan tidak ada keraguan didalamnya ( jika umat tidak sepakat, berarti hadis ahad kembali pada status asalnya yaitu dalil yang menghasilkan Dzon –pent)”10.
Abu Muhammad, menegaskan: “Hadis Ahad tidak berfaedah qoth’i. Dan inilah pendapat kebanyakan pendukung dan Ulama Mutaakhirin dari pengikut Imam Ahmad” 11
Abu Khatab ( Murid Imam Hambali) menyatakan: “ Ijma’ yang diriwayatkan secara Ahad tidak Qoth’I, tetapi digunakan sebagai dalil masalah amal perbuatan”.
Menurut sebagian Ulama Hambaliyah bahwa hadis ahad tidak boleh dipakai untuk mentakhsis ayat-ayat Al-Qur’an yang ‘Aam dan pendapat ini diikuti oleh Ahli Dzohhir (pengikut dari Abu Dawud Adh-Dhohhiri) 12
F. Pendapat Para Ulama Syafi’iyah
Imam Syafi’i berpendapat bahwa hadis ahad tidak dapat menghapus hukum dari Al-Qur’an , karena Al-Qur’an adalah Mutawatir.13
Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali (w. 505 H) berkata: “Tatkala sebuah hadis terbukti sebagai hadis Ahad, maka in tidak berfaedah Ilmu\Dzoni dan masalah ini sudah diketahui dengan jelas dalam Islam (ma’lumun bi al-Dharuri)”. Lalu beliau melanjutkan penjelasannya: ‘’Adapun pendapat para Ahli hadis bahwa ia (hadis Ahad-pent) adalah menghasilkan Ilmu\qoth’I adalah hadis Ahad yang wajib untuk diamalkan dan ketentuan ini ditetapkan berdasarkan dalil-dalil Qoth’i.14
Imam Abu Al-Hasan Saifudin Al-Amidi (w. 631), beliau berkata : ‘’Bahwa maslah Aqidah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qoth’I, sedang masalah furu’ cukup ditetapkan dengan dalil-dalil dzoni’’. Lalu menambahkan: ‘’Barang siapa menolak Ijma’ (konsensus-pent) dalam masalah ini telah gugur pendapatnya, dengan adanya kasus pada masalah fatwa dan kesaksian. Perbedaan antara masalah Ushul dan furu’ adalah sangat jelas. Mereka yang menyamakan masalah ushul dan masalah furu’ berarti telah membuat hukum sendiri, hal ini adalah sesuatu yang mustahil dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang sombong dan arogan’’15
Imam Abu Zakariya Muhyidin Al-Nawawi (w. 676 H), dalam pengantar syarah Shohih Muslim ketika membahas kelemahan pendapat Ibn Sholah yang menyatakan bahwa Hadis Ahad adalah Qoth’i. Setelah menulil pernyataan Ibn Sholah, beliau menegaskan : ‘’Pendapat ini menyalahi pendapat para Ahli Tahqiq dan jumhur Ulama, walaupun hadis tersebut ada dalam kitab shohihain selama tidak mencapai derajat mutawatir, maka hadis itu menghasilkan dzon. Dalam masalah ini Imam Bukhari, Imam Muslim dan para Imam Hadis lainnya dihukumi dengan cara yang sama” . Ibnu Burhan dan Ib Abdis salam pun menentang pendapat Ibn Sholah diatas.16
Al-Hafidz Ibn Hajar (w. 852 H) menyatakan dengan menukil pendapat Imam Yusuf Al-Kirmani bahwa : “Hadis ahad tidak dijadikan dalil dalam masalah aqidah’’ 17
Imam Jalaludin Abdur Rahman bin Kamaludin As-Suyuti (w. 911 H) menyatakan : ‘’ hadis Ahad tidak Qoth’I dan tidak dapat dijadikan dalil dalam masalah Ushul atau Aqidah” (Tadrib Al-Rawi Fi Syarh Taqrib Al-Nawawi) dan juga lihat pada kitabnya yang lain (Al-Itqon Fi Ulum Al-Qur’an juz 1\hal. 77 dan juz 2\hal.5).
G. Pendapat Para Ulama Malikiyah
Imam Al-Hafidz Abu Nu’aim Al-Isfahani (w 430 H) berkata : “Hadis Ahad tidak menghasilkan Ilmu\dzoni, tetapi dapat dijadikan dalil dalam cabang Hukum Syari’at”.
Ulama-ulama Malikiyah tidak mengamalkan hadis ahad yang bertentangan dengan amal Ahli Madinah (Ilmu Mustholah Hadis ; Ust. Moh. Anwar Bc. Hk, hal. 32).
Imam Malik ra. menegaskan : “Hadis Ahad apabila bertentangan dengan Qowa’id (kaidah-kaidah), maka ia tidak diamalkan (Fathul Bari juz 4\hal. 156).
H. Pernyataan Dari Ulama Lainnya
Imam Asnawi menyatakan : “Syara’ memperbolehkan dalil dzoni dalam masalah-masalah amaliyah yaitu masalah furu’ tanpa amaliyah dalam masalah Qowaid Ushul Ad-din. Demikianlah Qowaid Ushul Ad-din sebagaimana dinukil oleh Al-Anbari dalam Kitab Syarah burhan dari para Ulama yang terpercaya”18
Imam Ibn Taimiyah berkata : “ khobar ahad yang telah diterima (terbukti shohih-pent) wajib mewajibkan ilmu menurut Jumhur sahabat Abu hanafi, Imam Malikl, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad. Dan ini merupakan pendapat kebanyakan sahabat Imam Asy’ari seperti Al-Asfaraini dan Ibn faruk. Tetapi hadis Ahad hukum asalnya tidak berfaedah kecuali dzoni. Bila ia didukung dengan ijma’ ahlul ilmi dengan hadis lainnya maka ia dapat memberi faedah yang pasti. (naik derajatnya menjadi hadis mutawatir maknawi –pent)19
Imam Jamaluddin Al-Qosimi menyatakan : “Sesungguhnya jumhur kaum muslimin dari kalangan sahabat, tabi’in, golongan setelah mereka dari kalangan fuqoha, ahli hadis, dan ulama ushul berpendapat bahwa hadis ahad yang terpercaya dapat dijadikan hujjah dalam masalah tasyri’ yang wajib diamalkan, tetapi hadis ahad ini hanya menghantarkan pada Dzon tidak sampai derajat ilmu (yakin)”20
Imam Kasani menyatakan : “Pendapat sebagian besar fukoha menerima hadis ahad yang terpercaya dan adil serta diamalkan dalam masalah tasyri’ kecuali masalah aqidah, sebab I’tiqod wajib dibangun dengan dalil-dalil yang qoth’I, yang tidak ada keraguan didalamnya, sementara masalah amal (tasyri’) cukup dengan dalil yang rajih (kuat) saja”21
Imam Abi Muhammad Abdurrahim bin Hasan Al-Asnawi (w. 772 H), berkata: “Hadis Ahad hanya menghasilkan persangkaan saja. Allah SWT membolehkan hanya dalam massalah amaliyah (tasyri’), yang menjadi cabang-cabang agama, bukan masalah ilmiah seperti kaidah-kaidah pokok hukum agama”22

I. Pendapat Para Ulama Kontemporer
Syeikh DR. Rif’at Fauzi menegaskan: ‘’Hadis semacam ini (hadis ahad) tidak berfaedah yakin dan qoth’i. Ia hanya menghasilkan Dzon’’.
Syeikh DR. Abdurahman Al-Baghdadi, menyatakan: “Para Ulama sepakat bahwa hadis Ahad tidak menghasilkan keyakinan dan tidak digunakan sebagai dalil dalam masalah Aqidah”23
Syeikh DR. Muhammad Wafa’ menegaskan bahwa: ‘’Menurut Mayoritas Ulama hadis-hadis Rasul SAW terbagi menjadi dua, yaitu hadis Mutawatir dan Hadis Ahad. Sedang Ulama Hanafiyah menambahkan satu, yaitu hadis masyhur‘’. Kemudian veliau melanjutkan pembahasannya: ‘’Sedang Hadis Ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi atau lebih yang tidak mencapai batas Muatawatir. Ia memberikan keraguan, serta tidak dapat memberikan ketenangan dan keyakinan’’24
Prof. DR. Mukhtar Yahya dan Prof. Fatchurrahman menegaskan bahwa Hadis ahad tidak dapat digunakan untuk menetapkan sesuatu yang berhubungan dengan aqidah dan tidak pula untuk menetapkan hukum wajibnya suatu amal.25
Ust. Moh. Anwar Bc.Hk juga menegaskan bahwa para Muhaqqiqin menetapkan hadis ahad shohih diamalkan dalam bidang amaliyah baik masalah ubudiyah maupun masalah-masalah mu’amalah, tetapi tidak dalam masalah aqidah/keimanan karena keimanan\keyakinan harus ditegakkan atas dasar dalil yang Qoth’I, sedangkan hadis ahad hanya memberikan faedah Dzonni.26
Maulana M. rahmatulah Kairanvi  berkata tatkala  membela hadis dan autentitasnya dari serangan para orientalis : “Hadis Ahad adalah jenis hadis yang diriwayatkan dari seorang perawi kepada seorang perawi lainnya atau sekelompok perawi, atau sekelompok perawi kepada seorang perawi”. Selanjutnya beliau mengatakanbahwa: “Hadis Ahad tidak menghasilkan kepastian sebagaimana dua contoh diatas. Hadis ini tidak dapat dijadikan sebagai dalil dalam masalah aqidah, tetapi diterima sebagai dalil dalam masalah amaliyah praktis”27
J. Kesimpulan’
Dari bermacam-macam pendapat para ulama dapat disimpulkan bahwa hadits ahad yang bersifat dzonni tidak bisa dijadikan sandaran dalam masalah aqidah yang bersifat qoth’i.
Footnote:
1. Terjemah mabahits fii ‘ulumil hadits-Manna’ al-qoththon;pengantar studi ilmu hadits-Mifdhol Abdurrahman hal.113
2. ibid
3. Lihat ikhtisar mustholahul hadits-Drs. Fathurrahman hal.111
4. ibid
5. Syarah-Alfiyah, Muhyiddin ‘Abdul Hamid, hal.99;At-Tarmusy, hal.67
6. Pengantar Studi Ilmu Hadits, Mifdhol Abdurrahman Lc. terj.mabahits fii ‘ulumil qur’an, Manna’ al-Qoththon
7. Sayyid Qutub –> Sayyid Qutub, Fi Dzilalil Quran, juz 30, hal. 293-294
8. Prof Mahmud Syaltut –> Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, ed.III, 1966, Daar al-Qalam, hal. 63.
9. Lihat Tarikh Al-Madzhib Al-Islamiyah
10. ibid
11. Lihat Kitab Raudhah.hal. 506
12. Ilmu Mustholah Hadis ; Ust. Moh. Anwar Bc. Hk, hal. 31).
13. Ilmu Mustholah Hadis ; Ust. Moh. Anwar Bc. Hk, hal. 31).
14. Yang menghasilkan Ilmu\qoth’i-pent” ( Al-Mustasfa min Ilm’ al-Ushul juz 1\hal 145-146 -pent).).
15. Lihat Al-Ihkam fi Ushuli Al-Ahkam Imam Al-Amidi juz I\hal. 71-72; Al-Ihkam fi Ushuli Al-Ahkam Imam Ibn Hazm juz I\hal. 114 -pent
16. Syarah Shohih Muslim juz 1\hal. 130-131.
17. Fathul bari juz 8, bab khobar Ahad.
18. Nihayah Fi Ilm’ Al-Ushul.
19. Lihat Majmu Fatwa juz 18, hal. 41.
20. Qawaidut Tahdis, hal. 147-148.
21. Badaa’iu shanaa’I juz 1\hal. 20.
22. Syarh Asnawi Nihayah as-Saul Syarh Minhaju Al-Wushul Ila Ilmi Al-Ushul Al-Baidhawi, juz 1\hal. 214.
23. Lihat Kitab Radu’ alal Kitab Ad-Da’wah Al-Islamiyah hal 191.
24. Lihat kitab Ta’arudh al-adilati As-Syar’iyati min Al-Kitabi Wa As-Sunnahi Wa At-Tarjihu Bainaha, hal. 70.
25. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam; hal 54.
26. Ilmu Mustholah Hadits, hal. 31.
27. Izhar Al-Haq juz 4.













Daftar Pustaka
‘Itr, Nuruddin. 2012. ‘ulumul hadits. Dar al-fikr Damaskus. PT. Remaja Rosdakarya.
 Thahan, Mahmud. Taisir mushtolah hadits. Al-haromain, Indonesia.
Drs. Fatchur Rahman. 1974. Ikhtisar mushthalahul hadits. PT. Al-Ma’arif.
Iskandar, Sofwan. 2011. Ilmu Hadits. CV. Arya Duta.
Khaerumman, Badri. 2010. Ulum Al-Hadits. Pustaka Setia, Bandung.
Abdurrahman, Mifdhol. 2006. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Pustaka al-Kautsar, Jakarta.
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar