Selasa, 19 April 2016

Filsafat Dinamisme


A.    Latar Belakang

 Islam sebagai sistem hidup mencakup berbagai aspek kehidupan baik kolektif maupun individual termasuk dalam aspek hukum. Al Qur’an dan Hadits diyakini sebagai sumber hukum. Al Quran sebagai sumber hukum pertama, memuat prinsip-prinsip dasar untuk membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta dalam berbagai kondisi sepanjang perjalanan sejarah manusia. Oleh karenanya, Al Qur’an tidak menguraikan permasalahan hidup secara detail sebagaimana halnya kitab undang-undang.

 Untuk itu manusia dituntut untuk mampu menerjemhkan serta mengaplikasikan pesan Al Qur’an tanpa mengabaikan realitas kehidupan dinamika sosial yang senantiasa mengalami perubahan. Tuntutan ini menjadi tantangan sekaligus problematika umat. Penyikapan terhadap Al Qur’an melahirkan ekspresi keagamaan yang beragam, salah satunya adalah perlakuan yang tidak proporsional serta cenderung memahaminya secara parsial. Pada gilirannya, terjadi pemisahan secara mekanis antara ayat yang bersifat hukum dan non hukum. Demikian halnya dengan al Hadits sebagai sumber kedua. Tidak luput dari kontradiksi umat baik kebenaran isi (matan) maupun rantai periwayatan (sanad).

Bahkan ketika suatu hadits telah dinyatakan shahih itupun masih menyisakan perdebatan umat dalam menyikapinya baik tekstual, kontekstual maupun dengan problem kebahasaan (semantik). Dalam menggali solusi untuk permasalahan yang terjadi pada hadits inipun banyak melahirkan sikap yang tidak proporsional. Berbagai kenyataan di atas, merupakan realita masyarakat muslim India yangcenderung memahami teks-teks keagamaan secara parsial dan tidak proporsional.

Kondisi inilah yang pada gilirannya melatarbelakangi Muhammad Iqbal untuk melakukan penyadaran alam pikiran masyarakatnya dalam memahami dan mengekspresikan teks-teks keagamaan pada tataran implikatif. Dengan melalui gagasan serta pemikirannya baik tertuang pada berbagai macam buku maupun artikelnya bahkan dalam karya-karya sastranya yang kental dengan nuansa religius, beliau merealisasikan obsesinya itu.




B.     Rumusan Masalah
1.      Biografi Muhammad Iqbal?
2.      Apa gagasan pemikiran Muhammad Iqbal?
3.      Apa paham Filsafat Dinamisme Muhammad Iqbal?
4.      Apa tujuan filsafat dinamisme Muhammad Iqbal?


C.    Tujuan
1.      Mengetahui biografi Muhammad Iqbal.
2.      Mengetahui gagasan pemikiran Muhammad Iqbal.
3.      Mengetahui paham filsafat dinamisme Muhammad Iqbal.
4.      Mengetahui tujuan filsafat dinamisme Muhammad Iqbal.










BAB II
PEMBAHASAN

A.     Biografi Muhammad Iqbal

              Muhammad Iqbal lahir pada tanggal 9 November 1877 di Sialkot (India Inggris), sekarang Pakistan, Muhammad Iqbal  berasal dari golongan menengah di Punjab. Ia adalah seorang penyair, filsuf dan politisi yang menguasai bahasa Urdu, Arab, dan Persia. Dia adalah inspirator kemerdekaan bangsa India menjadi Pakistan.[1]

              Untuk meneruskan studinya ia pergi ke Lahore dan belajar disana sampai ia memperoleh gelar kesarjanaan M.A. Di kota itulah ia berkenalan dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang menurut keterangan mendorong pemuda Iqbal untuk melanjutkan studi di Inggris. Di tahun 1905 ia pergi kenegara ini dan masuk ke universitas Cambridge untuk mempelajari filsafat. Dua tahun kemudian ia pindah ke Munich di Jerman, dan di sanalah ia memperoleh gelar Ph.D. dalam tasawuf. Tesis doctoral yang dikemukakannya berjudul : The Development of Methaphysics in Persia (Perkembangan Metafisika di Persia). Dan pada tahun 1908, ia kembali ke Lahore.

              Disamping pekerjaannya sebagai pengacara, ia menjadi dosen filsafat. BukunyaThe Reconstruction of Religious Thought in Islam adalah hasil ceramah-ceramah yang diberikannya dibeberapa universitas di India. Kemudian ia memasuki bidang politik dan di tahun 1930 dipilih menjadi presiden liga muslim.  

              Didalam perundingan meja bundar di London, ia turut dua kali mengambil bagian. Ia juga menghadiri konferensi Islam yang diadakan di Jarussalem. Di tahun 1933, Ia di undang ke Afghanistan untuk membicarakan pembentukan Universitas Kabul. Dalam usia 62 tahun tepatnya di tahun 1938, ia meninggal. Ia lahir dari kalangan keluarga yang taat beribadah sehingga sejak masa kecilnya telah mendapatkan bimbingan langsung dari sang ayah Syekh Mohammad Noor dan Muhammad Rafiq kakeknya.[2]

            Iqbal merupakan di antara anak manusia yang sebagian besar karya-karyanya  telah menjadi klasik. Pesan-pesan kemanusiaannya yang amat mendalam  dan tajam  tidak saja untuk telingan masa kini, tapi tampaknya masih akan bergulir dengan gaungan yang lebih keras pada abad-abad yang akan datang.



Karya-karyanya antara lain:

a)    The Development of Metaphysic in Persia (desertasi, terbit di London, 1908)
b)   Asra-I Khudi (Lahore, 1916, tentang proses mencapai insane kamil)
c)    Rumuz I-Bukhudi (Lahore, 1918)
d)   Javid Nama (Lahore, 1932)
e)    The Reconstruction of Religius Thought in Islam (London, 1934)
f)    Musafir (Lahore, 1936)
g)   Zarb-I Kalim (Lahore, 1937)
h)   Bal-I Jibril (Lahore, 1938)
i)     Letters and Writings of Iqbal (Karachi, 1967, kumpulan surat dan artikel Iqbal).[3]

B.     Gagasan pemikiran Muhammad Iqbal

1.      Methafisika
Dalam pemikiran filsafat, Iqbal mengumandangkan misi kekuatan dan kekuasaan Tuhan, selain itu beliau juga menyatakan bahwasanya pusat dan landasan organisasi kehidupan manusia adalah ego yang dimaknai sebagai seluruh cakupan pemikiran dan kesadaran tentang kehidupan. Ia senantiasa bergerak dinamis untuk menuju kesempurnaan dengan cara mendekatkan diri pada ego mutlak, Tuhan. Karena itu, kehidupan manusia dalam keegoanya adalah perjuangan terus menerus untuk menaklukkan rintangan dan halangan demi tergapainya Ego Tertinggi. Dalam hal ini, karena rintangan yang terbesar adalah benda atau alam, maka manusia harus menumbuhkan instrumen-instrumen tertentu dalam dirinya, seperti daya indera, daya nalar dan daya-daya lainnya agar dapat mengatasi penghalang-penghalang tersebut. Selain itu, manusia juga harus terus menerus menciptakan hasrat dan cita-cita dalam kilatan cinta (`isyq), keberanian dan kreativitas yang merupakan essensi dari keteguhan pribadi. Seni dan keindahan tidak lain adalah bentuk dari ekspresi kehendak, hasrat dan cinta ego dalam mencapai Ego Tertinggi tersebut.
Kendati mengumandangkan misi kekuatan dan kekuasaan Tuhan, namun Iqbal tidak menjadikannya membunuh ego kreasi yang bersemayam di kedalaman diri. Ia selalu membuka katup cakrawala pemikirannya atas dunia di luar Islam (terutama Barat).

2.      Estetika
Berdasarkan konsep kepribadian yang memandang kehidupan manusia yang berpusat pada ego inilah, Iqbal memandang kemauan adalah sumber utama dalam seni, sehingga seluruh isi seni –sensasi, perasaan, sentimen, ide-ide dan ideal-ideal- harus muncul dari sumber ini. Karena itu, seni tidak sekedar gagasan intelektual atau bentuk-bentuk estetika melainkan pemikiran yang lahir berdasarkan dan penuh kandungan emosi sehingga mampu menggetarkan manusia (penanggap). Seni yang tidak demikian tidak lebih dari api yang telah padam. Karena itu, Iqbal memberi kriteria tertentu pada karya seni ini. Pertama, seni harus merupakan karya kreatif sang seniman, sehingga karya seni merupakan buatan manusia dalam citra ciptaan Tuhan. Ini sesuai dengan pandangan Iqbal tentang hidup dan kehidupan. Menurutnya, hakekat hidup adalah kreativitas karena dengan sifat-sifat itulah Tuhan sebagai sang Maha Hidup mencipta dan menggerakan semesta. Selain itu, hidup manusia pada dasarnya tidaklah terpaksa melainkan sukarela, sehingga harus ada kreativitas untuk menjadikannya bermakna. Karena itu, dalam pandangan Iqbal, dunia bukan sesuatu yang hanya perlu dilihat atau dikenal lewat konsep-konsep tetapi sesuatu yang harus dibentuk dan dibentuk lagi lewat tindakan-tindakan nyata.

3.       Etika
Dalam filsafat tentang etika Iqbal menghimbau masyarakat timur (umat Islam), untuk kembali kepada ajaran Islam yang agung serta menjauhi peradaban Barat (Eropa) yang merusak. Iqbal memandang bahwasanya sebab kemunduran umat Islam adalah kecendrungan yang membabibuta terhadap kebudayaan Barat yang telah membunuh karakter mereka dengan terus mengadopsi budaya-budaya Barat tanpa proses filterisasi. Iqbal mengungkapkan pandangannya terhadap budaya Barat.[4]

C.    Paham Dinamisme Muhammad Iqbal

Pemikirannya mengenai kemunduran dan kemajuan umat Islam mempunyai pengaruh pada gerakan pembaharuan dalam Islam. Sama dengan pembaharu-pembaharu lain, ia berpendapat bahwa kemunduran umat Islam selama 500 tahun terakhir disebabkan oleh kebekuan dalam pemikiran. Hukum dalam Islam telah sampai pada keadaan statis. Kaum konservatif dalam Islam berpendapat bahwa rasionalisme yang ditimbulkan golongan muktazilah akan membawa pada disintegrasi dan dengan demikian berbahaya bagi kestabilan Islam sebagai kesatuan politik. Untuk memelihara kesatuan itu, kaum konservatif tersebut lari ke syariat sebagai alat yang ampuh untuk membuat umat tunduk dan diam.

Sebab lain terletak pada pengaruh zuhud yang terdapat dalam ajaran tasawuf. Menurut tasawuf yang mementingkan zuhud, perhatian harus dipusatkan pada tuhan dan apa yang berada dibalik alam materi. Hal itu akhirnya membawa kepada keadaan umat yang kurang mementingkan soal kemasyarakatan dalam Islam.

Sebab utama ialah hancurnya Baghdad, sebagai pusat kemajuan pemikiran umat Islam dipertengahan abad ke-13. Untuk mengelakkan disintegrasi yang lebih dalam, kaum konservatif melihat bahwa perlu diusahakan dan dipertahankan keseragaman hidup sosial dari seluruh umat. Untuk itu mereka menolak segala pembaharuan dalam bidang syariat dan berpegang teguh pada hukum-hukum yang telah ditentukan ulama terdahulu. Pintu ijtihad mereka tutup.

Hukum dalam Islam sebenarnya menurut iqbal, tidak bersifat statis, tetapi dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Yang pertama berontak terhadap pendapat bahwa keempat madzhab telah membahas segala persoalan secara final dan dengan demikian ijtihad tidak diperlukan lagi, adalah Ibnu Taimiyah yang lahir pada tahun 1263, yaitu lima tahun sesudah jatuhnya Baghdad. Pendapat bahwa pintu ijtihad tidak tertutup di anut kemudian oleh Muhammad Abdul Wahab. Pada zaman modern, ijtihad telah semenjak lama dijalankan di Turki. Diantara semua Negara Islam, berulah umat Islam Turkilah yang melepaskan diri dari belenggu dogmatisme. Dan bangsa Turki pulalah yang mempergunakan hak kebebasan berfikir yang terdapat dalam Islam.

Al-qur’an senantiasa menganjurkan pemakaian akal terhadap ayat atau tanda yang terdapat dalam alam seperti matahari, bulan, pertukaran siang menjadi malam dan sebagainya. Orang yang tidak peduli dan tidak memperhatikan tanda-tanda itu akan tinggal buta terhadap masa yang akan datang. Yang pada akhirnya hanya melahirkan manusia-manusia yang memahami Al-qur’an sebatas hukum dalam syari’ah saja, tanpa menghiraukan kemu’jizatan-kemu’jizatan lain dalm Al-qur’an, seperti i’jazul ilmi.

Konsep Islam mengenai alam adalah senantiasa berkembang. Islam menolak konsep lama yang mengatakan bahwa alam ini bersifat statis. Islam mempertahankan konsep dinamisme dan mengakui adanya gerak dan perubahan dalam hidup sosial manusia. Kemajuan serta kemunduran di buat tuhan silih berganti diantara bangsa-bangsa yang mendiami bumi ini, menurut Iqbal mengandung arti dinamisme. Dan prinsip yang dipakai dalam soal gerak dan perubahan itu adalah ijtihad. Ijtihad mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan dalam Islam.

Paham dinamisme Islam yang ditonjolkan inilah yang membuat Iqbal mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan di India. Dalam syair-syairnya ia mendorong umat Islam supaya bergerak dan jangan tinggal diam. Intisari hidup adalah bergerak, sedang hukum hidup ialah menciptakan, maka Iqbal berseru kepada umat Islam supaya bangun dan menciptakan dunia baru. Karena tingginya ia menghargai gerak, hingga ia menyebut bahwa kafir yang aktif lebih baik dari muslim yang suka tidur.[5]

Dalam pembaharuannya Iqbal tidak berpendapat bahwa baratlah yang harus dijadikan model. Kapitalisne dan imperialism barat tidak dapat diterimanya. Barat menurut penilaiannya, amat banyak di pengaruhi oleh materialisme dan telah mulai meniggalkan agama. Yang harus diambil umat Islam dari barat hanyalah ilmu pengetahuannya. Ia tidak suka dengan hal yang berbau materialistis, seperti telah disinggung, bahwa Muhammad Iqbal adalah adalh seorang nasionalis India. Tapi, kemudian ia ubah pandangannya. Nasionalisme ia tentang, karena dalam nasionalisme seperti yang ia jumpai di Eropa, ia melihat bibit materialism dan atheisme dan menurutnya, keduanya merupakan ancaman besar bagi peri kemanusiaan.

Kalau kapitalisme ia tolak, sosialisme barat ia terima. Ia bersikap simpatik terhadap gerakan sosialisme ia melihat ada persamaan. Dalam hubungan ini ia pernah mengatakan “karena Bolsyevisme tambah Tuhan hampir identik dengan Islam, maka saya tidak terperanjat kalau suatu ketika Islam menelan Rusia atau sebaliknya”. Iqbal tidak begitu saja mau menerima apa yang datang dari barat.[6]

D.    Tujuan Filsafat Dinamisme Muhammad Iqbal

Setelah mengetahhui secara teori pemikiran Iqbal mengenai dinamisme Islam maka dapat diambil pengertina bahwa beberpa tujuan yang ingin dicapai dari pemikiran dinamisme Islam adalah :
1.      Perubahan pemahaman terhadap alam atau kenyataan. Yaitu usaha mengembalikan pemahaman itu kepada pemahaman umat Islam terdahulu, bahwa dunia lapangan usaha, gerak, dan pengetahuan manusia. Jadi, ia bukanlah suatu yang harus ditakuti atau dianggap buruk.
2.      Pengungkapan beberapa prinsip-prinsip Islam yang semuanya merupakan faktor-faktor yang mendorong manusia bergerak dan berusaha di alam raya ini.
3.      Mengubah pola pikir manusia dari statis kearah yang dinamis.
4.      Mengubah pemikiran umat Islam agar sesuai dengan perkembangan IPTEK dan falsafah modern agar Islam tidak ketinggalan zaman.
5.      Mengubah pemikiran agar mau untuk membuka pintu ijtihad, karena menurutnya pintu ijtihad tidak pernah akan tertutup.

Jadi Iqbal dengan gerakan reformasi pemikiran keagamaan dalam Islam itu, menginginkan kembalinya kejayaan bagi umat Islam. Kejayaan bukan lantaran mengikuti salah satu filsafat barat, tetapi karena pemahaman yang benar tentang Islam seperti pemahaman orang-orang muslim pertama.

Pemahaman yang benar tentang Islam, menurut Iqbal menjadikan alam materi dan alam nyata bukan suatu yang keji tapi sebagailapangan perjuangan demi personalitas. Dengan alam yang realis itu maka kepribadian menjadi kuat, dengan perjuanagn dalam dunia ini ia akan tetap eksis dan abadi. Jadi, keabadian personalitas menurut Iqbal adalah melalui perjuangan, dengan menundukan segala rintanagn bukan lari daripadanya.[7]









BAB III
PENUTUP
 Kesimpulan

     Pemikiran tentang kemunduran umat islam merupakan titik awal dari pemikiran Muhammad Iqbal tentang sebuah rekonstruksi baru dalam islam, tentang sebuah wacana yang mungkin bagi sebagian orang islam bukanlah merupakan sesuatu yang amat baru. Iqbal mencoba untuk memperkenalkan sebuah cara pandang berbeda tentang sikap yang menurutnya seharusnya dimiliki oleh umat islam, yaitu pandangan tentang dinamisme kehidupan yang bersumber dari Al-qur’an, Artinya, pandangan bahwa hidup itu gerak, begitu juga dengan hukum islam selalu bergerak selaras dengan perkembangan zaman.

Ia berpendapat bahwa pintu jtihad tidak tertutup sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang konservatif yang terlalu paranoid terhadap integritas islam. Ia sangat memahami kompleksitas Al-qur’an. Ia sangat menghargai gerak, karena besarnya penghargaanya terhadap gerak, hingga ia menyebut orang kafir yang bergerak lebih baik dari pada muslim yang hanya tidur tidak melakukan apa-apa.









  

DAFTAR PUSTAKA

Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, Konsep, Filsuf dan Ajarannya, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009)

Herry Mohammad (dkk), Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20,

Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2004)
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung:CV. Pustaka Setia, 2009) 

W.C Smith, Modernis in India (Lahore : Ashraf, 1963)

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, sejarah pemikiran dan gerakan , (Jakarta:Bulan Bintang,2003)

Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.





























[1] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, Konsep, Filsuf dan Ajarannya, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009), hal 261
[2] Herry Mohammad (dkk), Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, hal.237
[3] Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2004) hal. 231
[4] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung:CV. Pustaka Setia, 2009) hal 268.
[5] W.C Smith, Modernis in India (Lahore : Ashraf, 1963) Hal. 111
[6] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, sejarah pemikiran dan gerakan , (Jakarta:Bulan Bintang,2003) hal.186

[7] Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986, hal.264


Tidak ada komentar:

Posting Komentar