A.
Latar Belakang
Islam sebagai
sistem hidup mencakup berbagai aspek kehidupan baik kolektif maupun individual
termasuk dalam aspek hukum. Al Qur’an dan Hadits diyakini sebagai sumber hukum.
Al Quran sebagai sumber hukum pertama, memuat prinsip-prinsip dasar untuk
membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan
Tuhan dan alam semesta dalam berbagai kondisi sepanjang perjalanan sejarah
manusia. Oleh karenanya, Al Qur’an tidak menguraikan permasalahan hidup secara
detail sebagaimana halnya kitab undang-undang.
Untuk
itu manusia dituntut untuk mampu menerjemhkan serta mengaplikasikan pesan Al
Qur’an tanpa mengabaikan realitas kehidupan dinamika sosial yang senantiasa
mengalami perubahan. Tuntutan ini menjadi tantangan sekaligus problematika
umat. Penyikapan terhadap Al Qur’an melahirkan ekspresi keagamaan yang beragam,
salah satunya adalah perlakuan yang tidak proporsional serta cenderung
memahaminya secara parsial. Pada gilirannya, terjadi pemisahan secara mekanis
antara ayat yang bersifat hukum dan non hukum. Demikian halnya dengan al Hadits
sebagai sumber kedua. Tidak luput dari kontradiksi umat baik kebenaran isi
(matan) maupun rantai periwayatan (sanad).
Bahkan
ketika suatu hadits telah dinyatakan shahih itupun masih menyisakan
perdebatan umat dalam menyikapinya baik tekstual, kontekstual maupun dengan
problem kebahasaan (semantik). Dalam menggali solusi untuk permasalahan yang
terjadi pada hadits inipun banyak melahirkan sikap yang tidak proporsional. Berbagai
kenyataan di atas, merupakan realita masyarakat muslim India yangcenderung
memahami teks-teks keagamaan secara parsial dan tidak proporsional.
Kondisi
inilah yang pada gilirannya melatarbelakangi Muhammad Iqbal untuk melakukan
penyadaran alam pikiran masyarakatnya dalam memahami dan mengekspresikan
teks-teks keagamaan pada tataran implikatif. Dengan melalui gagasan serta
pemikirannya baik tertuang pada berbagai macam buku maupun artikelnya bahkan
dalam karya-karya sastranya yang kental dengan nuansa religius, beliau
merealisasikan obsesinya itu.
B.
Rumusan Masalah
1.
Biografi
Muhammad Iqbal?
2. Apa gagasan pemikiran Muhammad Iqbal?
3. Apa paham Filsafat Dinamisme Muhammad Iqbal?
4. Apa tujuan filsafat dinamisme Muhammad Iqbal?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
biografi Muhammad Iqbal.
2.
Mengetahui
gagasan pemikiran Muhammad Iqbal.
3.
Mengetahui
paham filsafat dinamisme Muhammad Iqbal.
4. Mengetahui tujuan filsafat dinamisme Muhammad Iqbal.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Biografi Muhammad Iqbal
Muhammad
Iqbal lahir pada tanggal 9 November 1877 di Sialkot (India Inggris), sekarang
Pakistan, Muhammad Iqbal berasal dari golongan menengah di Punjab. Ia
adalah seorang penyair, filsuf dan politisi yang menguasai bahasa Urdu, Arab,
dan Persia. Dia adalah inspirator kemerdekaan bangsa India menjadi Pakistan.[1]
Untuk
meneruskan studinya ia pergi ke Lahore dan belajar disana sampai ia memperoleh
gelar kesarjanaan M.A. Di kota itulah ia berkenalan dengan Thomas Arnold,
seorang orientalis yang menurut keterangan mendorong pemuda Iqbal untuk
melanjutkan studi di Inggris. Di tahun 1905 ia pergi kenegara ini dan masuk ke
universitas Cambridge untuk mempelajari filsafat. Dua tahun kemudian ia pindah
ke Munich di Jerman, dan di sanalah ia memperoleh gelar Ph.D. dalam tasawuf.
Tesis doctoral yang dikemukakannya berjudul : The Development of
Methaphysics in Persia (Perkembangan Metafisika di Persia). Dan pada
tahun 1908, ia kembali ke Lahore.
Disamping
pekerjaannya sebagai pengacara, ia menjadi dosen filsafat. BukunyaThe Reconstruction
of Religious Thought in Islam adalah hasil ceramah-ceramah yang
diberikannya dibeberapa universitas di India. Kemudian ia memasuki bidang
politik dan di tahun 1930 dipilih menjadi presiden liga muslim.
Didalam
perundingan meja bundar di London, ia turut dua kali mengambil bagian. Ia juga
menghadiri konferensi Islam yang diadakan di Jarussalem. Di tahun 1933, Ia di
undang ke Afghanistan untuk membicarakan pembentukan Universitas Kabul.
Dalam usia 62 tahun tepatnya di tahun 1938, ia meninggal. Ia
lahir dari kalangan keluarga yang taat beribadah sehingga sejak masa kecilnya
telah mendapatkan bimbingan langsung dari sang ayah Syekh Mohammad Noor dan
Muhammad Rafiq kakeknya.[2]
Iqbal merupakan di antara anak manusia yang sebagian
besar karya-karyanya telah menjadi klasik. Pesan-pesan kemanusiaannya
yang amat mendalam dan tajam tidak saja untuk telingan masa kini,
tapi tampaknya masih akan bergulir dengan gaungan yang lebih
keras pada abad-abad yang akan datang.
Karya-karyanya antara lain:
a) The Development of
Metaphysic in Persia (desertasi, terbit di London, 1908)
b) Asra-I Khudi (Lahore,
1916, tentang proses mencapai insane kamil)
c) Rumuz I-Bukhudi
(Lahore, 1918)
d) Javid Nama (Lahore,
1932)
e) The Reconstruction of
Religius Thought in Islam (London, 1934)
f) Musafir (Lahore, 1936)
g) Zarb-I Kalim (Lahore,
1937)
h) Bal-I Jibril (Lahore,
1938)
i) Letters and Writings of
Iqbal (Karachi, 1967, kumpulan surat dan artikel Iqbal).[3]
B. Gagasan pemikiran Muhammad Iqbal
1.
Methafisika
Dalam pemikiran filsafat, Iqbal mengumandangkan misi kekuatan dan kekuasaan Tuhan, selain itu beliau juga menyatakan bahwasanya pusat dan landasan organisasi kehidupan manusia adalah ego yang dimaknai sebagai seluruh cakupan pemikiran dan kesadaran tentang kehidupan. Ia senantiasa bergerak dinamis untuk menuju kesempurnaan dengan cara mendekatkan diri pada ego mutlak, Tuhan. Karena itu, kehidupan manusia dalam keegoanya adalah perjuangan terus menerus untuk menaklukkan rintangan dan halangan demi tergapainya Ego Tertinggi. Dalam hal ini, karena rintangan yang terbesar adalah benda atau alam, maka manusia harus menumbuhkan instrumen-instrumen tertentu dalam dirinya, seperti daya indera, daya nalar dan daya-daya lainnya agar dapat mengatasi penghalang-penghalang tersebut. Selain itu, manusia juga harus terus menerus menciptakan hasrat dan cita-cita dalam kilatan cinta (`isyq), keberanian dan kreativitas yang merupakan essensi dari keteguhan pribadi. Seni dan keindahan tidak lain adalah bentuk dari ekspresi kehendak, hasrat dan cinta ego dalam mencapai Ego Tertinggi tersebut.
Kendati mengumandangkan misi kekuatan dan kekuasaan Tuhan, namun Iqbal tidak menjadikannya membunuh ego kreasi yang bersemayam di kedalaman diri. Ia selalu membuka katup cakrawala pemikirannya atas dunia di luar Islam (terutama Barat).
Dalam pemikiran filsafat, Iqbal mengumandangkan misi kekuatan dan kekuasaan Tuhan, selain itu beliau juga menyatakan bahwasanya pusat dan landasan organisasi kehidupan manusia adalah ego yang dimaknai sebagai seluruh cakupan pemikiran dan kesadaran tentang kehidupan. Ia senantiasa bergerak dinamis untuk menuju kesempurnaan dengan cara mendekatkan diri pada ego mutlak, Tuhan. Karena itu, kehidupan manusia dalam keegoanya adalah perjuangan terus menerus untuk menaklukkan rintangan dan halangan demi tergapainya Ego Tertinggi. Dalam hal ini, karena rintangan yang terbesar adalah benda atau alam, maka manusia harus menumbuhkan instrumen-instrumen tertentu dalam dirinya, seperti daya indera, daya nalar dan daya-daya lainnya agar dapat mengatasi penghalang-penghalang tersebut. Selain itu, manusia juga harus terus menerus menciptakan hasrat dan cita-cita dalam kilatan cinta (`isyq), keberanian dan kreativitas yang merupakan essensi dari keteguhan pribadi. Seni dan keindahan tidak lain adalah bentuk dari ekspresi kehendak, hasrat dan cinta ego dalam mencapai Ego Tertinggi tersebut.
Kendati mengumandangkan misi kekuatan dan kekuasaan Tuhan, namun Iqbal tidak menjadikannya membunuh ego kreasi yang bersemayam di kedalaman diri. Ia selalu membuka katup cakrawala pemikirannya atas dunia di luar Islam (terutama Barat).
2.
Estetika
Berdasarkan konsep kepribadian yang
memandang kehidupan manusia yang berpusat pada ego inilah, Iqbal memandang
kemauan adalah sumber utama dalam seni, sehingga seluruh isi seni –sensasi,
perasaan, sentimen, ide-ide dan ideal-ideal- harus muncul dari sumber ini.
Karena itu, seni tidak sekedar gagasan intelektual atau bentuk-bentuk estetika
melainkan pemikiran yang lahir berdasarkan dan penuh kandungan emosi sehingga
mampu menggetarkan manusia (penanggap). Seni yang tidak demikian tidak lebih
dari api yang telah padam. Karena itu, Iqbal memberi kriteria tertentu pada
karya seni ini. Pertama, seni harus merupakan karya kreatif sang seniman,
sehingga karya seni merupakan buatan manusia dalam citra ciptaan Tuhan. Ini
sesuai dengan pandangan Iqbal tentang hidup dan kehidupan. Menurutnya, hakekat
hidup adalah kreativitas karena dengan sifat-sifat itulah Tuhan sebagai sang
Maha Hidup mencipta dan menggerakan semesta. Selain itu, hidup manusia pada
dasarnya tidaklah terpaksa melainkan sukarela, sehingga harus ada kreativitas
untuk menjadikannya bermakna. Karena itu, dalam pandangan Iqbal, dunia bukan
sesuatu yang hanya perlu dilihat atau dikenal lewat konsep-konsep tetapi sesuatu
yang harus dibentuk dan dibentuk lagi lewat tindakan-tindakan nyata.
3.
Etika
Dalam filsafat tentang etika Iqbal menghimbau masyarakat timur (umat Islam), untuk kembali kepada ajaran Islam yang agung serta menjauhi peradaban Barat (Eropa) yang merusak. Iqbal memandang bahwasanya sebab kemunduran umat Islam adalah kecendrungan yang membabibuta terhadap kebudayaan Barat yang telah membunuh karakter mereka dengan terus mengadopsi budaya-budaya Barat tanpa proses filterisasi. Iqbal mengungkapkan pandangannya terhadap budaya Barat.[4]
Dalam filsafat tentang etika Iqbal menghimbau masyarakat timur (umat Islam), untuk kembali kepada ajaran Islam yang agung serta menjauhi peradaban Barat (Eropa) yang merusak. Iqbal memandang bahwasanya sebab kemunduran umat Islam adalah kecendrungan yang membabibuta terhadap kebudayaan Barat yang telah membunuh karakter mereka dengan terus mengadopsi budaya-budaya Barat tanpa proses filterisasi. Iqbal mengungkapkan pandangannya terhadap budaya Barat.[4]
C. Paham Dinamisme Muhammad Iqbal
Pemikirannya mengenai kemunduran dan kemajuan umat
Islam mempunyai pengaruh pada gerakan pembaharuan dalam Islam. Sama dengan
pembaharu-pembaharu lain, ia berpendapat bahwa kemunduran umat Islam selama 500
tahun terakhir disebabkan oleh kebekuan dalam pemikiran. Hukum dalam Islam
telah sampai pada keadaan statis. Kaum konservatif dalam Islam berpendapat
bahwa rasionalisme yang ditimbulkan golongan muktazilah akan membawa pada
disintegrasi dan dengan demikian berbahaya bagi kestabilan Islam sebagai
kesatuan politik. Untuk memelihara kesatuan itu, kaum konservatif tersebut lari
ke syariat sebagai alat yang ampuh untuk membuat umat tunduk dan diam.
Sebab lain terletak pada pengaruh zuhud yang terdapat
dalam ajaran tasawuf. Menurut tasawuf yang mementingkan zuhud, perhatian harus dipusatkan
pada tuhan dan apa yang berada dibalik alam materi. Hal itu akhirnya membawa
kepada keadaan umat yang kurang mementingkan soal kemasyarakatan dalam Islam.
Sebab utama ialah hancurnya Baghdad, sebagai pusat
kemajuan pemikiran umat Islam dipertengahan abad ke-13. Untuk mengelakkan
disintegrasi yang lebih dalam, kaum konservatif melihat bahwa perlu diusahakan
dan dipertahankan keseragaman hidup sosial dari seluruh umat. Untuk itu mereka
menolak segala pembaharuan dalam bidang syariat dan berpegang teguh pada
hukum-hukum yang telah ditentukan ulama terdahulu. Pintu ijtihad mereka tutup.
Hukum dalam Islam sebenarnya menurut iqbal, tidak
bersifat statis, tetapi dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
Pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Yang pertama berontak terhadap pendapat
bahwa keempat madzhab telah membahas segala persoalan secara final dan dengan
demikian ijtihad tidak diperlukan lagi, adalah Ibnu Taimiyah yang lahir pada
tahun 1263, yaitu lima tahun sesudah jatuhnya Baghdad. Pendapat bahwa pintu
ijtihad tidak tertutup di anut kemudian oleh Muhammad Abdul Wahab. Pada zaman
modern, ijtihad telah semenjak lama dijalankan di Turki. Diantara semua Negara
Islam, berulah umat Islam Turkilah yang melepaskan diri dari belenggu
dogmatisme. Dan bangsa Turki pulalah yang mempergunakan hak kebebasan berfikir
yang terdapat dalam Islam.
Al-qur’an senantiasa menganjurkan pemakaian akal
terhadap ayat atau tanda yang terdapat dalam alam seperti matahari, bulan,
pertukaran siang menjadi malam dan sebagainya. Orang yang tidak peduli dan
tidak memperhatikan tanda-tanda itu akan tinggal buta terhadap masa yang akan
datang. Yang pada akhirnya hanya melahirkan manusia-manusia yang memahami
Al-qur’an sebatas hukum dalam syari’ah saja, tanpa menghiraukan
kemu’jizatan-kemu’jizatan lain dalm Al-qur’an, seperti i’jazul ilmi.
Konsep Islam mengenai alam adalah senantiasa
berkembang. Islam menolak konsep lama yang mengatakan bahwa alam ini bersifat
statis. Islam mempertahankan konsep dinamisme dan mengakui adanya gerak dan
perubahan dalam hidup sosial manusia. Kemajuan serta kemunduran di buat
tuhan silih berganti diantara bangsa-bangsa yang mendiami bumi ini, menurut
Iqbal mengandung arti dinamisme. Dan prinsip yang dipakai dalam
soal gerak dan perubahan itu adalah ijtihad. Ijtihad mempunyai kedudukan
penting dalam pembaharuan dalam Islam.
Paham dinamisme Islam yang
ditonjolkan inilah yang membuat Iqbal mempunyai kedudukan penting dalam
pembaharuan di India. Dalam syair-syairnya ia mendorong umat Islam supaya
bergerak dan jangan tinggal diam. Intisari hidup adalah bergerak, sedang hukum
hidup ialah menciptakan, maka Iqbal berseru kepada umat Islam supaya bangun dan
menciptakan dunia baru. Karena tingginya ia menghargai gerak, hingga ia
menyebut bahwa kafir yang aktif lebih baik dari muslim yang suka tidur.[5]
Dalam pembaharuannya Iqbal tidak berpendapat bahwa
baratlah yang harus dijadikan model. Kapitalisne dan imperialism barat tidak
dapat diterimanya. Barat menurut penilaiannya, amat banyak di pengaruhi oleh
materialisme dan telah mulai meniggalkan agama. Yang harus diambil umat Islam
dari barat hanyalah ilmu pengetahuannya. Ia tidak suka dengan hal yang berbau
materialistis, seperti telah disinggung, bahwa Muhammad Iqbal adalah adalh
seorang nasionalis India. Tapi, kemudian ia ubah pandangannya. Nasionalisme ia
tentang, karena dalam nasionalisme seperti yang ia jumpai di Eropa, ia melihat
bibit materialism dan atheisme dan menurutnya, keduanya merupakan ancaman besar
bagi peri kemanusiaan.
Kalau kapitalisme ia tolak, sosialisme barat ia
terima. Ia bersikap simpatik terhadap gerakan sosialisme ia melihat ada
persamaan. Dalam hubungan ini ia pernah mengatakan “karena Bolsyevisme tambah Tuhan
hampir identik dengan Islam, maka saya tidak terperanjat kalau suatu ketika
Islam menelan Rusia atau sebaliknya”. Iqbal tidak begitu saja mau menerima apa
yang datang dari barat.[6]
D.
Tujuan Filsafat
Dinamisme Muhammad Iqbal
Setelah mengetahhui secara teori pemikiran Iqbal mengenai dinamisme Islam
maka dapat diambil pengertina bahwa beberpa tujuan yang ingin dicapai dari
pemikiran dinamisme Islam adalah :
1. Perubahan pemahaman terhadap alam atau kenyataan. Yaitu usaha mengembalikan
pemahaman itu kepada pemahaman umat Islam terdahulu, bahwa dunia lapangan
usaha, gerak, dan pengetahuan manusia. Jadi, ia bukanlah suatu yang harus
ditakuti atau dianggap buruk.
2. Pengungkapan beberapa prinsip-prinsip Islam yang semuanya merupakan
faktor-faktor yang mendorong manusia bergerak dan berusaha di alam raya ini.
3. Mengubah pola pikir manusia dari statis kearah yang dinamis.
4. Mengubah pemikiran umat Islam agar sesuai dengan perkembangan IPTEK dan
falsafah modern agar Islam tidak ketinggalan zaman.
5. Mengubah pemikiran agar mau untuk membuka pintu ijtihad, karena menurutnya
pintu ijtihad tidak pernah akan tertutup.
Jadi Iqbal dengan gerakan reformasi pemikiran keagamaan dalam Islam itu,
menginginkan kembalinya kejayaan bagi umat Islam. Kejayaan bukan lantaran
mengikuti salah satu filsafat barat, tetapi karena pemahaman yang benar tentang
Islam seperti pemahaman orang-orang muslim pertama.
Pemahaman yang benar tentang Islam, menurut Iqbal menjadikan alam materi
dan alam nyata bukan suatu yang keji tapi sebagailapangan perjuangan demi
personalitas. Dengan alam yang realis itu maka kepribadian menjadi kuat, dengan
perjuanagn dalam dunia ini ia akan tetap eksis dan abadi. Jadi, keabadian
personalitas menurut Iqbal adalah melalui perjuangan, dengan menundukan segala
rintanagn bukan lari daripadanya.[7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pemikiran tentang kemunduran umat
islam merupakan titik awal dari pemikiran Muhammad Iqbal tentang sebuah
rekonstruksi baru dalam islam, tentang sebuah wacana yang mungkin bagi sebagian
orang islam bukanlah merupakan sesuatu yang amat baru. Iqbal mencoba untuk
memperkenalkan sebuah cara pandang berbeda tentang sikap yang menurutnya
seharusnya dimiliki oleh umat islam, yaitu pandangan tentang dinamisme
kehidupan yang bersumber dari Al-qur’an, Artinya, pandangan bahwa hidup itu
gerak, begitu juga dengan hukum islam selalu bergerak selaras dengan
perkembangan zaman.
Ia berpendapat bahwa pintu jtihad tidak tertutup
sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang konservatif yang terlalu paranoid
terhadap integritas islam. Ia sangat memahami kompleksitas Al-qur’an. Ia sangat
menghargai gerak, karena besarnya penghargaanya terhadap gerak, hingga ia
menyebut orang kafir yang bergerak lebih baik dari pada muslim yang hanya tidur
tidak melakukan apa-apa.
DAFTAR PUSTAKA
Dedi
Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, Konsep, Filsuf dan
Ajarannya, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009)
Herry
Mohammad (dkk), Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20,
Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam,(Yogyakarta:Pustaka
Pelajar,2004)
Dedi
Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung:CV. Pustaka
Setia, 2009)
W.C Smith,
Modernis in India (Lahore : Ashraf, 1963)
Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam, sejarah pemikiran dan
gerakan , (Jakarta:Bulan Bintang,2003)
Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern,
Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.
[1] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam,
Konsep, Filsuf dan Ajarannya, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009), hal
261
[2] Herry Mohammad (dkk), Tokoh-Tokoh Islam Yang
Berpengaruh Abad 20, hal.237
[3] Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam,(Yogyakarta:Pustaka
Pelajar,2004) hal. 231
[4] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung:CV.
Pustaka Setia, 2009) hal 268.
[5] W.C Smith, Modernis in India (Lahore :
Ashraf, 1963) Hal. 111
[6]
Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam, sejarah pemikiran dan gerakan , (Jakarta:Bulan
Bintang,2003) hal.186
[7] Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern,
Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986, hal.264
Tidak ada komentar:
Posting Komentar