SEJARAH TAFSIR DI INDONESIA
Kajian Tafsir Feminis – Analisa Terhadap Tafsir K.H. Husein
Muhammad-
Makalah ini Diajukan Sebagai Salah Satu Bahan Diskusi Mata Kuliah
STI
Disusun oleh : Miftahuddin & Hilman Asgor
Disusun oleh : Miftahuddin & Hilman Asgor
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Islam adalah agama yang ramah terhadap
perempuan. Ajaran Islam sangat mendukung budaya kesetaraan dan sangat mendukung
penerapan nilai-nilai kemanusiaan. Islam membawa ajaran yang ramatan
lil-alamin, menebarkan kasih sayang bagi semua makhluk di alam semesta.[1]
Dalam satu dekade
terakhir berbagai suara teologi feminis muncul hampir di seluruh penjuru dunia. Sehingga tidak
heran jika teologi feminis diperdebatkan dari berbagai sudut pandang.
Konseptualisasi yang dilakukan para teolog fiminis dengan aspek-aspek
pembahasan yang plural mendorong kita untuk melihat lebih jauh corak dan ragam
pemikiran teologi feminis yang berkembang juga mengetahui bagaimana perjuangan
agama-agama dalam menghadapi arus feminisme, baik yang liberal maupun radikal.[2]
Salah
satu aliran yang muncul mutakhir ini adalah tafsir feminis. Ia lahir kesan
wujudnya dalam kalangan sarjana kontemporari, golongan yang merasa adanya
elemen ketidakadilan
dalam tafsiran mufassir klasik. Golongan ini mendakwa terdapat tafsiran ulama
yang dianggap bias gender, khususnya terhadap wanita. Dalam istilah lain, ia
disebut tafsir misoginis, iaitu tafsir yang anti terhadap wanita.
Pandangan para mufassir dikatakan
secara tidak langsung menerima tempias fahaman patriaki kesan proses
sosialisasi setempat. Ini kerana Islam dan sistem patriaki dilihat mempunyai
kesan yang mendalam terhadap status wanita. Polemik ini didakwa akibat
pemahaman nass yang mendasari latar belakang, pemikiran dan pentafsiran
ulama yang berorientasikan patriaki (patriarchalism theological oriented).
Dengan kata lain, epistemologi agama yang berkembang dalam masyarakat Islam
didominasi kaum lelaki (male-dominated religious epistemology) yang
melahirkan androcentric discourse (wacana yang berpusat kepada
kepentingan lelaki).[3]
B.
Rumusan Masalah
1.
Biografi dan Riwayat Pendidikan K.H. Husein Muhammad?
2.
Apa Pengertian Tafsir Feminis?
3.
Apa Metode Tafsir yang dipakai ?
4.
Apa corak didalam Tafsir Feminis tersebut?
5.
Apa Gagasan Revolisionernya?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui Riwayat Pendidikan K.H. Husein Muhammad
2.
Mengetahui Pengertian Feminis
3.
Mengetahui metode Tafsir yang dipakai
4.
Mengetahui corak didalam Tafsir Feminis K.H Husein Muhammad
5.
Mengetahui Gagasan Revolisionernya
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi K.H. Husein Muhammad
Husein Muhammad merupakan
satu-satunya kyai feminis Indonesia yang tidak pernah merasa lelah memberla
perempuan. Ia berjuang mendongkrak kemapanan pemahaman relasi gender yang telah
mapan. Pandangannya banyak berbeda dengan pandangan keagamaan arus utama,
terutama ketika membahas fiqih perempuan.[4]
KH. Husein Muhammad, lahir di Cirebon, 9 Mei
1953, tepatnya di Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun. Ibunya bernama
Ummu Salma Syatori, putri KH. Syatori, yakni pendiri pondok pesantren Dar
al-Tauhid Arjawinangun. Dan ayahnya bernama Muhammad Asyrofuddin dari keluarga
biasa yang berlatar belakang pesantren pula.[5]
Husein lahir dan dibesarkan di lingkungan
Pondok Pesantren Dar al-Tauhid, tepatnya dijalan Kali Baru Timur (sekarang
dikenal dengan jalan KH. Syatori) No. 10-21 Arajawinangun, Cirebon, Jawa Barat.
Husein belajar agama sejak kecil. Ia mulai belajar al-Qur’an pada KH. Mahmud
Toha dan kepada kakeknya sendiri KH. Syathori.[6]
Suami dari Nihayah Fuad Amin ini telah dikaruniai lima orang anak, Hilya Auliya
(lahir:1991), Layali Hilwa (lahir 1992), Muhammad Fayyaz Mumtaz (lahir 1994),
Najla Hammadah (lahir 2002) Fazla Muhammad (lahir 2003).[7]
Pondok pesantren Dar al-Tauhid,
tempat lahir dan dibesarkannya Husein, pada saat itu merupakan pesantren yang
lebih modern dibandingkan dengan pesantren di Cirebon pada umumnya. Karena pada
waktu itu KH. Syathori sudah berfikir dan bersikap moderat dalam menerapkan
sistem pendidikan di pesantrennya.
Setelah belajar agama di Madrasah
Diniyah, Husein juga mengenyam pendidikan di SD dan selesai pada tahun 1966,
kemudian melanjutkan studinya di SMPN I Arjawinangun hingga tahun 1969. Padahal
pada saat itu masih jarang masyarakat yang menyekolahkan anaknya untuk menempuh
pendidikan umum, karena pendidikan umum saat itu masih dilarangan oleh kiai
pesantren.[8]
Setelah tamat SMP Husein melanjutkan
belajar ke PP. Salaf Lirboyo yang terletak di kota Kediri. Di pesantren ini
selain belajar agama, Husein sering menulis beberapa rubrik koran lokal baik
dalam bentuk puisi atau cerita.
Setelah menyelesaikan pendidikan di
Pondok Peantren Lirboyo Kediri Jawa Timur, tahun 1973 melanjutkan studi ke
Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) di Jakarta, tamat tahun 1980.[9] Perguruan
tinggi ini mengkhususkan kajian tentang al-Qur’an dan mewajibkan mahasiswanya hafal
al-Qur’an. Selama di PTIQ, Husein sangat aktif dalam kegiatan-kegiatan
mahasiswa, baik ekstra maupun intra. Ia pernah menjadi ketua umum DEMA pada
tahun 1979. Husein bersama teman-temannya juga mendirikan PMII Rayon Kebayoran
Lama. Selain itu ia juga aktif di dunia jurnalistik. Husein menempuh
pendidikannya dikampus ini selama lima tahun, dan lulus pada tahun 1980.[10]
Setelah tamat dari PTIQ Husein
melanjutkan studinya ke sebuah universitas tertua di dunia, yakni al-Azhar
Mesir. Di sini Husein mempelajari ilmu tafsir al-Qur’an. Ia juga membaca buku
dan kitab-kitab yang jarang atau bahkan tidak ditemukan di Indonesia. Husein
juga membaca buku-buku filsafat dan sastra dari pemikir Barat yang ditulis
dalam bahasa Arab, seperti karya Nietzsche, Sartre, Albert Camus, dan lain-lain.
Pada tahun 1983 Husein pulang ke
Indonesia. Dan ia pun mengikuti jejak kakeknya untuk megembangkan pesantren Dar
al-Tauhid di Arjawinangun yang pada saat itu kondisi SMU di pesantren ini
hampir dibubarkan, namun Husein berusaha memperbaikinya.[11]
Mengenai pembelaanya terhadap kaum
perempuan, pada awalnya Husein Muhammad menolak gagasan keadilan dan kesetaraan
perempuan, karena dia menilai gagasan tersebut bertentangan dengan ajaran
agama. Kesadaran Husein akan penindasan perempuan muncul ketika dia pada tahun
1993 diundang dalam seminar tentang perempuan dalam pandangan agama- agama oleh
P3M dan diskusi-diskusi yang dilakukannya dengan Masdar F. Mas’udi. Sebelumnya
Husein mengakui bahwa dia belum memiliki kesadaran akan adanya penindasan
terhadap perempuan. Tulisan-tulisan Husein sebelum tahun 1993 tidak membahas
mengenai peran perempuan, melainkan berhubungan dengan pesantren dan
ajaran-ajaran agama secara umum.
Sebagai bentuk pembelaan terhadap
perempuan, pada bulan November 2000, ia mendirikan Fahmina Institute. Lalu pada
tanggal 3 Juli 2000, bersama Sinta Nuriyah A. Wahid, Mansour Fakih, dan Mohamad
Sobari, ia mendirikan Pesantren Pemberdayaan Kaum Perempuan ‘Puan Amal Hayati’.
Pada tahun 2000 juga, ia mendirikan RAHIMA Institute, dan pada tahun yang sama
pula, ia mendirikan Forum Lintas Iman, tiga tahun kemudian, ia tercatat sebagai
Tim Pakar Indonesian Forum of Parliamentarians on population and Development.
Lalu pada tahun 2005, ia bergabung sebagai pengurus The Wahid Institute
Jakarta. Selain itu ia juga tercatat sebagai angota National Board of
International Center for Islam and Pluralisme (ICIP).[12]
B.
Karya-karya K.H. Husein Muhammad
Karya tulis ilmiah yang pernah dipublikasikan
·
“Metodologi kajian kiab kuning” dalam Marzuki Wahid,
Pesantren Masa Depan, Pustaka Hidayah, Bandung 1999.
·
Fiqh Perempuan; Refleksi Kiyai atas Wacana Agama dan
Gender, LKIS, Yogyakarta, 2001.
·
Ta’liq wa Takhrij Syarh Uqud al Lujain, bersama Forum
Kajian Kitab Kuning, Jakarta, LKIS, Yogyakarta,2001.
·
Gender di Pesantren (Pesantren and The Issue of Gender
Relation), dalam majalah kultur (The Indonesia Journal for Muslim Cultures),
Center of Languanges and Cultures, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,2002.
·
“Tradisi Istinbath Hukum NU: Sebuah kritik” dalam M
Imanuddin Rahmat (ed), Kritik Nalar NU: Tradisionl Paradigma Bahtsul Masa’il,
LAKPESDAM, Jakarta, 2002.
·
“Kelemahan dan Fitnah Perempuan ” dalam buku “Tubuh,
Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan : Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda”,
editor Moqsith Ghazali, PenerbitRahima-FF-LKIS, Yogyakarta,2002.
·
“Kebudayaan yang Timpang”, dalam K.M. Ikhsanuddin, dkk,
Panduan Pengajaran Fiqh Perempuan di Pesantren, YKF-FF, Yogyakarta, 2002.
·
Islam Agama Rumah Perempuan, Pembelaan Kiyai Pesantren,
LKIS, Yogyakarta, 2004.
·
Kembang Setaman Perkawinan: Analisis Kritis Kitab ‘Uqud
al Lujayn, FK-3, bekerjasama dengan KOMPAS, Jakarta, 2005.
·
“Pemikir Fiqh yang Arif”, dalam KH.MA. Sahal Mahfudh,
Wajah Baru Fiqh Pesantren,Citra Pustaka, Jakarta, 2004.
·
“Potret Penindasan atas Nama Hasrat” dalam Sofa Ihsan, In
The Name of Sex: Santri, Dunia Kelamin, dan Kitab Kuning, JP Books, Surabaya,
2004.
·
“Counter Legal Darf: Merespons Realitas Sosial Baru”
dalam Ridwan, M.Ag, Kontroversi Counter Legal Darf: Ikhtiar Pembaruan Hukum
Keluarga Islam, PSW Purwokerto kerjasama dengan Unggun Religi, Yogyakarta,
2005.
·
Islam Progressif: Refleksi Kritis Kiai Pesantren terhadap
Wacana Kemanusiaan, Pustaka Rihlah Group, Yogyakarta, 2005.
Karya terjemahan
·
Khuttab al Jumu’ah wa al ‘Idain, Lajnah min Kibar Ulama
al Azhar (Wasiat Taqwa Ulama-ulama Besar AL Azhar), Cairo, Penerbit Bulan
Bintang, 1985.
·
Al Syari’ah al Islamiyyah bain al Mujahiddin wa al
muhadditsin, (Hukum Islam antara Modernis dan Tradisionalis, dr, Faruq Abu
Zaid, Penerbit P3M, Jakarta, 1986.
·
Mawathin al Ijtihad fi al Syari’ah al Islamiyyah (Syeikh
Muhammad al Madani), Al Taqlid wa al Tafliq fi al Fiqh al Islamy (Sayid Mu’in
al Din), al Ijtihad wa al Taqlid baina al al Dwabith al Syar’iyah wa al Hayah
al Mu’ashirah (Dr. Yusuf al Qardhawi) (Dasar-dasar Pemikiran Hukum Islam),
Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987.
·
Kasyifiyah al Saja, Penerbit Bandung, 1992.
·
Thabaqat al Ushuliyyin (Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang
Sejarah), Syeikh Musthafa al Maraghi, Penerbit LKPSM, Yogyakarta, 2001.
·
Wajah Baru Kitab Syarh Uqud al Lujain, LKIS, Yogyakarta,
2001 Karya bersama Forum Kajian Kitab Kuning, Jakarta.[13]
A.
Tafsir Feminis
1.
Pengertian Tafsir Feminis
Secara
etimologis kata “feminisme” berasal dari kata latin, yaitu femina yang
dalam bahasa Inggris diterjemakan menjadi feminin, artinya memiliki
sifat sebagai perempuan. Kemudian kata itu ditambahkan “ism” menjadi feminsm, yang
berarti hal ihwal perempuan, atau dapat pula berarti paham mengenai perempuan.[14]
Feminisme dapat diartikan sebagai
gerakan yang berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada
dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta adanya usaha untuk mengakhiri
penindasan dan eksploitasi tersebut.[15]
Kemudian
sesuai dengan perkembangannya kata tersebut digunakan dalam teori kesetaraan
jenis kelamin (sexsual Equality). Secara historis, istilah itu
muncul pertamakali 1895 hingga meluas sampai saat ini.[16]
Tafsir feminis merupakan satu
istilah yang asing dalam ilmu Tafsir ataupun ‘Ulum al-Qur’an. Ia lahir dari
rasa ketidakpuasan hati terhadap hasil tafsir ulama-ulama klasik maupun
kontemporari ekoran wujudnya elemen bias gender. Bisa gender ini menyebabkan
berlakunya ketidakadilan terhadap wanita dalam tiap uraian tafsir.[17]
Hasil tafsiran ini dikatakan sebagai
refleksi realiti yang hadir dan mensosialisasi dalam diri seorang mufassir.
Tradisi patriarki yang kuat mencengkam sistem masyarakat menjadi titik tolak
lahirnya pandangan yang tidak mesra wanita. Kesannya, masyarakat Islam
memandang inferioriti kedudukan wanita dan mengangkat superioriti lelaki.
Menurut Van Doorn-Harder, kelompok
feminis Muslim ini tidak menyerang dan tidak menolak ajaran Islam, tetapi
mereka mentafsirkan kembali ayat-ayat al-Quran yang lebih
humanis. Dengan demikian mereka meluruskan apa yang telah diselewengkan kaum
lelaki lebih dari seribu tahun.[18]
2. Faktor
Kemunculan Tafsir Feminis
Menurut Fazlur
Rahman, teks-teks al-Qur’an dalam pewahyuannya tidak bisa dilepaskan dari
konteks yakni sosio-historis. Konteks yang ada di masa Jahiliyyah, perempuan
tidak mendapatkan hak,sebagai barang yang bisa dialihkan kepemilikannya, dapat
diwariskan, diperbudak, bahkan perempuan di masa itu tidak diberi kesempatan
untuk hidup sehingga mereka dikubur hidup-hidup. Hal ini sangat bertentangan dengan
ajaran agama Islam, karena itu pula perspektif keadilan yang menjadi
pertimbangan bagi para mufassir-feminis kontemporer dalam memahami ayat-ayat
al-Qur’an tentang Gender. Secara literalistik banyak ayat-ayat al-Qur’an yang
memberikan kesan adanya kecenderungan hirarkhis dalam memperlakukan laki-laki
dan perempuan. Namun, secara moral teks-teks tersebut secara revolusioner
menghilangkan hirarkhi yang menjadi kenyataan dalam masyarakat sebelum Islam.[19]
Para mufassir kontemporer
berpandangan bahwa pada dasarnya agama Islam menegaskan kesetaraan anatara
laki-laki dan perempuan. Meski misalnya, Al Qur’an menggunakan bahasa
(ungkapan) yang kadang-kadang secara literal menunjuk pada struktur yang
hirarkis, namun secara moral ia justru ingin menghilangkan subordinasi yang
dialami oleh perempuan pada masa-masa sebelum Islam. Jadi sesungguhnya,
ungkapan al-Qur’an adalah ungkapan yang sarat-akan-pembebasan: termasuk dalam
hal ini adalah pembebasan perempuan dari dominasi dan eksploitasi laki-laki.[20]
3. Contoh
Penafsiran K.H. Husein Muhammad
-
Penciptaan Perempuan dalam Islam
Dalam al Qur‟an penciptaan laki-laki
dan perempuan tidak dibedakan dengan jelas. Manusia, baik itu laki-laki maupun
perempuan dalam al Qur‟an diciptakan dari tanah dengan kedudukan yang sama,
yakni makhluk Tuhan yang mulia. Sebagaimana yang tertuang dalam surat as
Sajadah ayat 7:
ٱلَّذِيٓ أَحۡسَنَ كُلَّ
شَيۡءٍ خَلَقَهُۥۖ وَبَدَأَ خَلۡقَ ٱلۡإِنسَٰنِ مِن طِينٖ ٧
Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan
sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah.
Namun pada perkembangannya,
pembahasan asal-usul manusia lebih menjadi perdebatan dan yang dijadikan
rujukan utama adalah surat an Nisa‟ ayat 1. Ayat ini kemudian ditafsirkan dalam
bahasa patriarki yang cenderung menguntungkan kedudukan laki-laki. teks ayat
tersebut sebagai berikut:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ
مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ
ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا
١
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Dari ayat di atas banyak dari
kalangan mufassirin mengartikan kata Nafs Wahidah sebagai Adam,
sedangkan kata Zawjaha adalah Hawa. Tafsiran ini juga diamini oleh az
Zamakhsyari, menurutnya yang dimaksud Nafs Wahidah adalah Adam,
sedangkan Zawjaha adalah Hawa yang diciptakan Tuhan dari salah satu
tulang rusuk Adam yang
bengkok. Tafsiran ini memiliki efek negatif bagi perempuan, sebab dengan
mengatakan perempuan berasal dari bagian diri laki-laki, tanpa laki-laki maka
perempuan tidak akan ada.
Menurut Husein Muhammad surat an
Nisaa‟ ayat 1 tentang penciptaan perempuan yang dijadikan dasar oleh sebagaian
ulama tafsir untuk menjustifikasi bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk
laki-laki. Sehingga kualitas yang pertama menjadi lebih baik dari pada
penciptaan yang kedua harus dibaca dan ditafsirkan kembali.
Menurut Husein Muhammad, yang ingin
diungkapkan oleh ayat ini adalah penciptaan manusia berawal dari penciptaan diri
yang satu (nafs wahidah), kemudian penciptaan pasangannya yang sejenis
dengannya, dari kedua pasangan tersebut kemudian tercipta laki-laki dan
perempuan dalam jumlah banyak. Dalam ayat tersebut tidak dijelaskan dengan
ungkapan yang jelas, apakah “diri” yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah
laki-laki atau perempuan. Dan juga tidak ada ungkapan yang jelas apakah yang
dimaksud “pasangannya” itu merujuk kepada laki-laki atau perempuan. Oleh karena
itu, penafsiran subordinasi perempuan terhadap laki-laki dengan alasan bahwa
yang dimaksud “pasangan” dalam ayat tersebut adalah peempuan, atau yang
dimaksud “diri” adalah laki-laki menjadi tidak benar.[21]
Husein Muhammad bependapat bahwa
kata nafs wahidah (diri yang satu) dan zaujaha (pasangannya)
biarkan dengan ketidakjelasannya, sementara yang lebih jelas adalah ungkapan
setelahnya bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari dua pasangan itu.
Semangat ayat tersebut juga mengisyaratkan kebersamaan dan keberpasangan
sebagai dasar kehidupan, bukan subordinasi satu kepada yang lain.
4.
Sumber Tafsir Feminis K.H. Husein Muhammad
Menurut penganalisaan kami terkait
dengan Sumber Tafsir di atas, yaitu menggunakan sumber Tafsir bi al-Ra’y karena
memang jika diteliti lebih dalam Husein sendiri menafsirkan salah satu ayat Al-Qur’an
di atas dengan pemahamannya sendiri, dengan melihat penafsiran sebelumnya dari
beberapa mufasir, dan husein sendiri mengemasnya dengan pemahaman yang berbeda
dengan penafsir yang lain yang ada pada sekarang ini.
5.
Metode Penafsiran
Ada
beberapa metodologi yang dipakai para mufassir feminis dalam menafsirkan
al-Qur’an. Diantaranya adalah Hermeneutik. Metodologi tersebut kerjanya adalah
mengkontekstualisasi dan menangkap semangat atau ruh dari ide yang terdapat di
balik teks al-Qur’an sehingga hasil tafsirnya bisa keluar dari statemen
normatif yang bersifat state of being kepada state of
be coming atau biasa disebut dengan istilah melihat secara
kritis prior text, yaitu situasi, perpspektif, kondisi
sosio-hostoris yang melatarbelakangi dunia penafsir sebelum ia berhadapan
dengan teks.
Tafsir feminis termasuk dalam kategori maudu`i,
yaitu tematik, yaitu memfokuskan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan isu gender
sahaja. Antara tema yang menjadi fokus golongan feminis adalah tema penciptaan
wanita awal (Hawa). Ia dapat dilihat dalam ayat yang berkaitan dengan
penciptaan (nafs wahidah) (al-Nisa’, 4:1). Kemudiannya, tema peranan
kenabian, yaitu dalam al-Anbiya’, 21: 7 dan Yusuf, 12: 109, tema kepimpinan (qiwamah),
iaitu al-Nisa’, 4: 3 dan 129, tema kesaksian (syahadah), iaitu dalam
al-Baqarah, 2: 282, dan tema pewarisan (wirathah) iaitu dalam al-Nisa’,
4: 11.
Menurut Nasaruddin Umar, bias gender dalam
pentafsiran teks al-Qur’an adalah disebabkan berlakunya pembakuan tanda huruf,
tanda baca dan qira’at;
pengertian kosa kata; penetapan rujukan kata ganti; penetapan batas
pengecualian; penetapan erti huruf ‘atf; bias dalam
struktur bahasa Arab; bias dalam kamus bahasa Arab; bias dalam metode tafsir;
pengaruh riwayat Isra’iliyyat,
dan bias dalam pembukuan dan pembakuan kitab-kitab Fiqh.[22]
6.
Corak Penafsiran
Model atau pendekatan yang digunakan
dalam tafsir feminis sangat beragam diantaranya sebagaimana yang dinyatakan
oleh Ghazala Anwar adalah:[23]
a) Corak
Feminis Apologis
Aliran ini
memiliki keyakinan bahwa al-Qur’an dan hadits telah memberikan hak antara
laki-laki dan perempuan bagi kesejahteraan dan pemenuhan pribadi masing-masing.
b) Corak
Feminis Reformis
Aliran ini
bertujuan mentransformasikan tradisi dengan tetap menggunakan metodologi
hermeneutik klasik yang akrab dalam wacana Islam tradisional.
c) Corak
Feminis Rasionalis
Aliran ini
berangkat dari keyakinan bahwa karena Allah maha adil, tentu Islam membawa misi
keadilan, keadilan terhadap siapapun, walaupun berbeda agama dan jenis kelamin.
Aliran ini mengedepankan wacana keadilan dan kesetaraan gender. Tokoh dari
model tafsir ini adalah Fazlur Rahman yang selanjutnya diikuti oleh Riffat
Hasan dan Amina Wadud Muhsin.
d) Corak
Feminis Rejeksionis
Aliran ini
memiliki keyakinan bahwa memang teks-teks al-Qur’an dan hadis dalam kaitannya
dengan al-Qur’an memang ada yang misoginis, seksi, dan diskriminatif. mereka
merujuk kepada pengalaman perempuan. Sehingga argumen apapun yang di luar
itu―dari manapun sumbernya―yang mendukung diskriminasi terhadap perempuan akan
ditolak. Tokoh yang mengikuti aliran ini adalah Tasleema Nasreen dan Fatima
Mernissi.
e) Corak Feminis postmodernis
Aliran
berkeyakinan perlu dilakukan “ex-centralism”, yaitu keluar
dari apa saja yang meletakkan laki-laki sebagai “pusat” dari kehidupan sosial
dan spiritual perempuan. Bagi pemeluk aliran ini semua bentuk sentralisme
adalah totaliter. Perempuan tidak boleh dibaca dari sudut laki-laki karena itu
berlwanan dari ajaran agama. Tokoh pengikut dalam aliran ini adalah Mansour
Fakih dan Ashgar Ali Engineer.
7. Gagasan
Revolusioner K.H. Husein Muhammad
Husein Muhammad merupakan seorang
tokoh feminis yang pernyataan-pernyataannya sering menuai kontroversi.
Gagasannya juga mendapatkan reaksi dari beberapa kalangan, terutama Kyai
pesantren-pesantren lain yang ada di Cirebon dan wilayah lain di Jawa selain
dukungan dari banyak pihak, Husein juga harus menghadapi sejumlah penentangan
gagasannya.
Kami juga menilai, Husein memiliki
kekhasan dari pada tokoh-tokoh yang lain. Dalam mengeluarkan
gagasan-gagasannya, Husein selalu merujuk kepada literatur klasik. Hal ini,
menurut kami ditujukan agar setiap gagasannya tersebut mudah diterima oleh
masyarakat yang selama ini cenderung mengagungkan hasil ijtihad yang terangkum
dalam Tafsir Klasik yang mu’tabar. Husein sendiri tokoh yang berani tampil beda
dalam menafsirkan Al-Qur’an.
BAB III
KESIMPULAN
Secara garis
besar maka kami bisa menyimpulkan bahwa tafsir feminis memiliki arti gerakan yang berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum
perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta adanya usaha untuk
mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut. Tafsir feminis merupakan satu
istilah yang asing dalam ilmu Tafsir ataupun ‘Ulum al-Qur’an. Ia lahir dari
rasa ketidakpuasan hati terhadap hasil tafsir ulama-ulama klasik maupun
kontemporari ekoran wujudnya elemen bias gender. Bisa gender ini menyebabkan
berlakunya ketidakadilan terhadap wanita dalam tiap uraian tafsir
Karena tafsir ini dikategorikan sebagai tafsir tematik, maka hal
tersebut sesuai dengan tujuan tafsir itu sendiri, K.H. Husein Muhammad mencoba
mengkritisi fenomena sosial terkini tentang problema yang dihadapi kaum wanita,
khususnya berbagai permasalahan kaum wanita di Indonesia. Maka kita akan dapat
melihat keumuman tafsir ini yaitu ketika K.H. Husein Muhammad mencoba mengkaji
ulang permasalahan-permasalahan kaum wanita secara lebih aktual dan mengaitkan
permasalahan tersebut terhadap ayat yang memang sesuai dengan permasalahan
tersebut. Dan sudah barang tentu K.H. Husein Muhammad menyertakan solusi dari
permasalahnya. Wallaahu A’lam –innamal ‘ilmu bit-ta’alum-
DAFTAR PUSTAKA
Musdah Mulia, Siti. 2011, Muslimah Sejati, Bandung:
Marja.
Baidhawy, Zakiyuddin. 1997, Wacana Teologi Feminis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Anuar
Ramli Mohd, Ismail Paizah, dan Ikhlas Rosele Muhammad, ARTIKEL; Tafsir Feminis: Antara Rekonstruksi Tafsiran Mesra-Gender
Dengan Dekonstruksi Tafsiran Ulama Klasik
Nuruzzaman
Muhammad, 2005, Kiai Husein Membela Perempuan, (Yogyakarta: Pustaka
Pesantren.
Abadi Munib, Kekerasan
Terhadap Perempuan Perspektif Hukum
Islam (Studi Analisis Pemikiran K.H. husein Muhammad, Skripsi Pdf.
Akbar Zaelani, Pemikiran
Husein Muhammad Tentang Pernikahan Dini,
Skripsi pdf.
Mustaqim
Abdul,2013, Tafsir Feminis Versus Tafsir Patriarki, Yogyakarta: Sabda
Persada.
Fakih Mansour,1996, Menggeser Konsepsi Gender dan Tranformasi Sosial, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Baidowi Ahmad.
2005, Tafsir Feminis. Yogyakarta: Nuansa.
Van Doom-Harser
Nelly. 2008, Menimbang Tafsir Perempuan Terhadap al-Quran. (terj.)
Josien Folbert. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mustaqim
Abdul. 2008, Paradigma Tafsir Feminis, Yogyakarta: Logung Pustaka.
Ali
Engineer Asghar. 1991, Islam dan Pembebasan, terj. Hairus Salim,
Yogyakarta: LkiS.
Muhammad
Husein. 2007, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender Yogyakarta:
LkiS.
Umar Nasaruddin.
2011, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an. Jakarta: PARAMADINA.
Muhammad Husein,/
husayn.muhammad/about. https://www.facebook.com/, ( 8 Februari 2016).
http://fahmina.or.id/id/id/content/view/441/85/
[3] Artikel Mohd Anuar Ramli,
Paizah Hj Ismail dan Muhammad Ikhlas Rosele, Tafsir Feminis: Antara Rekonstruksi Tafsiran Mesra-Gender Dengan
Dekonstruksi Tafsiran Ulama Klasik ,Hal, 187
[4] Facebook, Husein Muhammad,
https://www.facebook.com/husayn.muhammad/about, (Diakses pada tanggal 8 Februari 2016).
[6]
Ibid., 111.
[7]
Munib Abadi, Kekerasan Terhadap Perempuan Perspektif Hukum Islam (Studi Analisis Pemikiran K.H.
husein Muhammad, Skripsi Pdf Hal 26
[9]
Husein Muhammad, Ijtihad Kyai
Husein; Upaya Membangun Keadilan Gender ( Jakarta: Rahima, 2011),Hal 439.
[11]
Ibid., hal 115
[14]
Abdul Mustaqim MA, Tafsir Feminis Versus Tafsir Patriarki, (Yogyakarta:
Sabda Persada, 2013), Hal 14
[15] Mansour Fakih, Menggeser Konsepsi Gender dan Tranformasi Sosial (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996),Hal 82.
[18] Nelly Van Doorn-Harder. Menimbang Tafsir Perempuan Terhadap
al-Quran. (terj.) Josien Folbert. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), Hal 15.
[19] Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis,
(Yogyakarta: Logung Pustaka, 2008), Hal. 131
[20] Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, terj.
Hairus Salim (Yogyakarta: LkiS, 1991) Hal. 13
[21]
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender
(Yogyakarta: LkiS,2007), 30-31.
[22]
Nasaruddin Umar. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an. (Jakarta:
Penerbit PARAMADINA,
2001), Hal 265-300.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar