Selasa, 19 April 2016

Tafsir Feminis

SEJARAH TAFSIR DI INDONESIA
Kajian Tafsir Feminis – Analisa Terhadap Tafsir K.H. Husein Muhammad-
Makalah ini Diajukan Sebagai Salah Satu Bahan Diskusi Mata Kuliah STI
Disusun oleh : Miftahuddin & Hilman Asgor
 

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam adalah agama yang ramah terhadap perempuan. Ajaran Islam sangat mendukung budaya kesetaraan dan sangat mendukung penerapan nilai-nilai kemanusiaan. Islam membawa ajaran yang ramatan lil-alamin, menebarkan kasih sayang bagi semua makhluk di alam semesta.[1]
Dalam satu dekade terakhir berbagai suara teologi feminis muncul hampir di seluruh penjuru dunia. Sehingga tidak heran jika teologi feminis diperdebatkan dari berbagai sudut pandang. Konseptualisasi yang dilakukan para teolog fiminis dengan aspek-aspek pembahasan yang plural mendorong kita untuk melihat lebih jauh corak dan ragam pemikiran teologi feminis yang berkembang juga mengetahui bagaimana perjuangan agama-agama dalam menghadapi arus feminisme, baik yang liberal maupun radikal.[2]
 Salah satu aliran yang muncul mutakhir ini adalah tafsir feminis. Ia lahir kesan wujudnya dalam kalangan sarjana kontemporari, golongan yang merasa adanya elemen ketidakadilan dalam tafsiran mufassir klasik. Golongan ini mendakwa terdapat tafsiran ulama yang dianggap bias gender, khususnya terhadap wanita. Dalam istilah lain, ia disebut tafsir misoginis, iaitu tafsir yang anti terhadap wanita.
Pandangan para mufassir dikatakan secara tidak langsung menerima tempias fahaman patriaki kesan proses sosialisasi setempat. Ini kerana Islam dan sistem patriaki dilihat mempunyai kesan yang mendalam terhadap status wanita. Polemik ini didakwa akibat pemahaman nass yang mendasari latar belakang, pemikiran dan pentafsiran ulama yang berorientasikan patriaki (patriarchalism theological oriented). Dengan kata lain, epistemologi agama yang berkembang dalam masyarakat Islam didominasi kaum lelaki (male-dominated religious epistemology) yang melahirkan androcentric discourse (wacana yang berpusat kepada kepentingan lelaki).[3]

B.     Rumusan Masalah
1.      Biografi dan Riwayat Pendidikan K.H. Husein Muhammad?
2.      Apa Pengertian Tafsir Feminis?
3.      Apa Metode Tafsir yang dipakai ?
4.      Apa corak didalam Tafsir Feminis tersebut?
5.      Apa Gagasan Revolisionernya?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui Riwayat Pendidikan K.H. Husein Muhammad
2.      Mengetahui Pengertian Feminis
3.      Mengetahui metode Tafsir yang dipakai
4.      Mengetahui corak didalam Tafsir Feminis K.H Husein Muhammad
5.      Mengetahui Gagasan Revolisionernya














BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi K.H. Husein Muhammad
Husein Muhammad merupakan satu-satunya kyai feminis Indonesia yang tidak pernah merasa lelah memberla perempuan. Ia berjuang mendongkrak kemapanan pemahaman relasi gender yang telah mapan. Pandangannya banyak berbeda dengan pandangan keagamaan arus utama, terutama ketika membahas fiqih perempuan.[4]
 KH. Husein Muhammad, lahir di Cirebon, 9 Mei 1953, tepatnya di Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun. Ibunya bernama Ummu Salma Syatori, putri KH. Syatori, yakni pendiri pondok pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun. Dan ayahnya bernama Muhammad Asyrofuddin dari keluarga biasa yang berlatar belakang pesantren pula.[5]
 Husein lahir dan dibesarkan di lingkungan Pondok Pesantren Dar al-Tauhid, tepatnya dijalan Kali Baru Timur (sekarang dikenal dengan jalan KH. Syatori) No. 10-21 Arajawinangun, Cirebon, Jawa Barat. Husein belajar agama sejak kecil. Ia mulai belajar al-Qur’an pada KH. Mahmud Toha dan kepada kakeknya sendiri KH. Syathori.[6] Suami dari Nihayah Fuad Amin ini telah dikaruniai lima orang anak, Hilya Auliya (lahir:1991), Layali Hilwa (lahir 1992), Muhammad Fayyaz Mumtaz (lahir 1994), Najla Hammadah (lahir 2002) Fazla Muhammad (lahir 2003).[7]
Pondok pesantren Dar al-Tauhid, tempat lahir dan dibesarkannya Husein, pada saat itu merupakan pesantren yang lebih modern dibandingkan dengan pesantren di Cirebon pada umumnya. Karena pada waktu itu KH. Syathori sudah berfikir dan bersikap moderat dalam menerapkan sistem pendidikan di pesantrennya.
Setelah belajar agama di Madrasah Diniyah, Husein juga mengenyam pendidikan di SD dan selesai pada tahun 1966, kemudian melanjutkan studinya di SMPN I Arjawinangun hingga tahun 1969. Padahal pada saat itu masih jarang masyarakat yang menyekolahkan anaknya untuk menempuh pendidikan umum, karena pendidikan umum saat itu masih dilarangan oleh kiai pesantren.[8]
Setelah tamat SMP Husein melanjutkan belajar ke PP. Salaf Lirboyo yang terletak di kota Kediri. Di pesantren ini selain belajar agama, Husein sering menulis beberapa rubrik koran lokal baik dalam bentuk puisi atau cerita.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Pondok Peantren Lirboyo Kediri Jawa Timur, tahun 1973 melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) di Jakarta, tamat tahun 1980.[9] Perguruan tinggi ini mengkhususkan kajian tentang al-Qur’an dan mewajibkan mahasiswanya hafal al-Qur’an. Selama di PTIQ, Husein sangat aktif dalam kegiatan-kegiatan mahasiswa, baik ekstra maupun intra. Ia pernah menjadi ketua umum DEMA pada tahun 1979. Husein bersama teman-temannya juga mendirikan PMII Rayon Kebayoran Lama. Selain itu ia juga aktif di dunia jurnalistik. Husein menempuh pendidikannya dikampus ini selama lima tahun, dan lulus pada tahun 1980.[10]
Setelah tamat dari PTIQ Husein melanjutkan studinya ke sebuah universitas tertua di dunia, yakni al-Azhar Mesir. Di sini Husein mempelajari ilmu tafsir al-Qur’an. Ia juga membaca buku dan kitab-kitab yang jarang atau bahkan tidak ditemukan di Indonesia. Husein juga membaca buku-buku filsafat dan sastra dari pemikir Barat yang ditulis dalam bahasa Arab, seperti karya Nietzsche, Sartre, Albert Camus, dan lain-lain.
Pada tahun 1983 Husein pulang ke Indonesia. Dan ia pun mengikuti jejak kakeknya untuk megembangkan pesantren Dar al-Tauhid di Arjawinangun yang pada saat itu kondisi SMU di pesantren ini hampir dibubarkan, namun Husein berusaha memperbaikinya.[11]
Mengenai pembelaanya terhadap kaum perempuan, pada awalnya Husein Muhammad menolak gagasan keadilan dan kesetaraan perempuan, karena dia menilai gagasan tersebut bertentangan dengan ajaran agama. Kesadaran Husein akan penindasan perempuan muncul ketika dia pada tahun 1993 diundang dalam seminar tentang perempuan dalam pandangan agama- agama oleh P3M dan diskusi-diskusi yang dilakukannya dengan Masdar F. Mas’udi. Sebelumnya Husein mengakui bahwa dia belum memiliki kesadaran akan adanya penindasan terhadap perempuan. Tulisan-tulisan Husein sebelum tahun 1993 tidak membahas mengenai peran perempuan, melainkan berhubungan dengan pesantren dan ajaran-ajaran agama secara umum.
Sebagai bentuk pembelaan terhadap perempuan, pada bulan November 2000, ia mendirikan Fahmina Institute. Lalu pada tanggal 3 Juli 2000, bersama Sinta Nuriyah A. Wahid, Mansour Fakih, dan Mohamad Sobari, ia mendirikan Pesantren Pemberdayaan Kaum Perempuan ‘Puan Amal Hayati’. Pada tahun 2000 juga, ia mendirikan RAHIMA Institute, dan pada tahun yang sama pula, ia mendirikan Forum Lintas Iman, tiga tahun kemudian, ia tercatat sebagai Tim Pakar Indonesian Forum of Parliamentarians on population and Development. Lalu pada tahun 2005, ia bergabung sebagai pengurus The Wahid Institute Jakarta. Selain itu ia juga tercatat sebagai angota National Board of International Center for Islam and Pluralisme (ICIP).[12]




B.     Karya-karya K.H. Husein Muhammad
Karya tulis ilmiah yang pernah dipublikasikan
·         “Metodologi kajian kiab kuning” dalam Marzuki Wahid, Pesantren Masa Depan, Pustaka Hidayah, Bandung 1999.
·         Fiqh Perempuan; Refleksi Kiyai atas Wacana Agama dan Gender, LKIS, Yogyakarta, 2001.
·         Ta’liq wa Takhrij Syarh Uqud al Lujain, bersama Forum Kajian Kitab Kuning, Jakarta, LKIS, Yogyakarta,2001.
·         Gender di Pesantren (Pesantren and The Issue of Gender Relation), dalam majalah kultur (The Indonesia Journal for Muslim Cultures), Center of Languanges and Cultures, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,2002.
·         “Tradisi Istinbath Hukum NU: Sebuah kritik” dalam M Imanuddin Rahmat (ed), Kritik Nalar NU: Tradisionl Paradigma Bahtsul Masa’il, LAKPESDAM, Jakarta, 2002.
·         “Kelemahan dan Fitnah Perempuan ” dalam buku “Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan : Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda”, editor Moqsith Ghazali, PenerbitRahima-FF-LKIS, Yogyakarta,2002.
·         “Kebudayaan yang Timpang”, dalam K.M. Ikhsanuddin, dkk, Panduan Pengajaran Fiqh Perempuan di Pesantren, YKF-FF, Yogyakarta, 2002.
·         Islam Agama Rumah Perempuan, Pembelaan Kiyai Pesantren, LKIS, Yogyakarta, 2004.
·         Kembang Setaman Perkawinan: Analisis Kritis Kitab ‘Uqud al Lujayn, FK-3, bekerjasama dengan KOMPAS, Jakarta, 2005.
·         “Pemikir Fiqh yang Arif”, dalam KH.MA. Sahal Mahfudh, Wajah Baru Fiqh Pesantren,Citra Pustaka, Jakarta, 2004.
·         “Potret Penindasan atas Nama Hasrat” dalam Sofa Ihsan, In The Name of Sex: Santri, Dunia Kelamin, dan Kitab Kuning, JP Books, Surabaya, 2004.
·         “Counter Legal Darf: Merespons Realitas Sosial Baru” dalam Ridwan, M.Ag, Kontroversi Counter Legal Darf: Ikhtiar Pembaruan Hukum Keluarga Islam, PSW Purwokerto kerjasama dengan Unggun Religi, Yogyakarta, 2005.
·         Islam Progressif: Refleksi Kritis Kiai Pesantren terhadap Wacana Kemanusiaan, Pustaka Rihlah Group, Yogyakarta, 2005.

Karya terjemahan
·         Khuttab al Jumu’ah wa al ‘Idain, Lajnah min Kibar Ulama al Azhar (Wasiat Taqwa Ulama-ulama Besar AL Azhar), Cairo, Penerbit Bulan Bintang, 1985.
·         Al Syari’ah al Islamiyyah bain al Mujahiddin wa al muhadditsin, (Hukum Islam antara Modernis dan Tradisionalis, dr, Faruq Abu Zaid, Penerbit P3M, Jakarta, 1986.
·         Mawathin al Ijtihad fi al Syari’ah al Islamiyyah (Syeikh Muhammad al Madani), Al Taqlid wa al Tafliq fi al Fiqh al Islamy (Sayid Mu’in al Din), al Ijtihad wa al Taqlid baina al al Dwabith al Syar’iyah wa al Hayah al Mu’ashirah (Dr. Yusuf al Qardhawi) (Dasar-dasar Pemikiran Hukum Islam), Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987.
·         Kasyifiyah al Saja, Penerbit Bandung, 1992.
·         Thabaqat al Ushuliyyin (Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah), Syeikh Musthafa al Maraghi, Penerbit LKPSM, Yogyakarta, 2001.
·         Wajah Baru Kitab Syarh Uqud al Lujain, LKIS, Yogyakarta, 2001 Karya bersama Forum Kajian Kitab Kuning, Jakarta.[13]
A.    Tafsir Feminis
1.      Pengertian Tafsir Feminis
Secara etimologis kata “feminisme” berasal dari kata latin, yaitu femina yang dalam bahasa Inggris diterjemakan menjadi feminin, artinya  memiliki sifat sebagai perempuan. Kemudian kata itu ditambahkan “ism” menjadi feminsm, yang berarti hal ihwal perempuan, atau dapat pula berarti paham mengenai perempuan.[14]
Feminisme dapat diartikan sebagai gerakan yang berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta adanya usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut.[15]
Kemudian sesuai dengan perkembangannya kata tersebut digunakan dalam teori kesetaraan jenis kelamin (sexsual Equality). Secara historis, istilah itu muncul pertamakali 1895 hingga meluas sampai saat ini.[16]
Tafsir feminis merupakan satu istilah yang asing dalam ilmu Tafsir ataupun ‘Ulum al-Qur’an. Ia lahir dari rasa ketidakpuasan hati terhadap hasil tafsir ulama-ulama klasik maupun kontemporari ekoran wujudnya elemen bias gender. Bisa gender ini menyebabkan berlakunya ketidakadilan terhadap wanita dalam tiap uraian tafsir.[17]
Hasil tafsiran ini dikatakan sebagai refleksi realiti yang hadir dan mensosialisasi dalam diri seorang mufassir. Tradisi patriarki yang kuat mencengkam sistem masyarakat menjadi titik tolak lahirnya pandangan yang tidak mesra wanita. Kesannya, masyarakat Islam memandang inferioriti kedudukan wanita dan mengangkat superioriti lelaki.
Menurut Van Doorn-Harder, kelompok feminis Muslim ini tidak menyerang dan tidak menolak ajaran Islam, tetapi mereka mentafsirkan kembali ayat-ayat al-Quran yang lebih humanis. Dengan demikian mereka meluruskan apa yang telah diselewengkan kaum lelaki lebih dari seribu tahun.[18]
2.      Faktor Kemunculan Tafsir Feminis
Menurut Fazlur Rahman, teks-teks al-Qur’an dalam pewahyuannya tidak bisa dilepaskan dari konteks yakni sosio-historis. Konteks yang ada di masa Jahiliyyah, perempuan tidak mendapatkan hak,sebagai barang yang bisa dialihkan kepemilikannya, dapat diwariskan, diperbudak, bahkan perempuan di masa itu tidak diberi kesempatan untuk hidup sehingga mereka dikubur hidup-hidup. Hal ini sangat bertentangan dengan ajaran agama Islam, karena itu pula perspektif keadilan yang menjadi pertimbangan bagi para mufassir-feminis kontemporer dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an tentang Gender. Secara literalistik banyak ayat-ayat al-Qur’an yang memberikan kesan adanya kecenderungan hirarkhis dalam memperlakukan laki-laki dan perempuan. Namun, secara moral teks-teks tersebut secara revolusioner menghilangkan hirarkhi yang menjadi kenyataan dalam masyarakat sebelum Islam.[19]
Para mufassir kontemporer berpandangan bahwa pada dasarnya agama Islam menegaskan kesetaraan anatara laki-laki dan perempuan. Meski misalnya, Al Qur’an menggunakan bahasa (ungkapan) yang kadang-kadang secara literal menunjuk pada struktur yang hirarkis, namun secara moral ia justru ingin menghilangkan subordinasi yang dialami oleh perempuan pada masa-masa sebelum Islam. Jadi sesungguhnya, ungkapan al-Qur’an adalah ungkapan yang sarat-akan-pembebasan: termasuk dalam hal ini adalah pembebasan perempuan dari dominasi dan eksploitasi laki-laki.[20]
3.      Contoh Penafsiran K.H. Husein Muhammad
-          Penciptaan Perempuan dalam Islam
Dalam al Qur‟an penciptaan laki-laki dan perempuan tidak dibedakan dengan jelas. Manusia, baik itu laki-laki maupun perempuan dalam al Qur‟an diciptakan dari tanah dengan kedudukan yang sama, yakni makhluk Tuhan yang mulia. Sebagaimana yang tertuang dalam surat as Sajadah ayat 7:
ٱلَّذِيٓ أَحۡسَنَ كُلَّ شَيۡءٍ خَلَقَهُۥۖ وَبَدَأَ خَلۡقَ ٱلۡإِنسَٰنِ مِن طِينٖ ٧
 Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah.
Namun pada perkembangannya, pembahasan asal-usul manusia lebih menjadi perdebatan dan yang dijadikan rujukan utama adalah surat an Nisa‟ ayat 1. Ayat ini kemudian ditafsirkan dalam bahasa patriarki yang cenderung menguntungkan kedudukan laki-laki. teks ayat tersebut sebagai berikut:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا ١
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Dari ayat di atas banyak dari kalangan mufassirin mengartikan kata Nafs Wahidah sebagai Adam, sedangkan kata Zawjaha adalah Hawa. Tafsiran ini juga diamini oleh az Zamakhsyari, menurutnya yang dimaksud Nafs Wahidah adalah Adam, sedangkan Zawjaha adalah Hawa yang diciptakan Tuhan dari salah satu tulang rusuk Adam yang bengkok. Tafsiran ini memiliki efek negatif bagi perempuan, sebab dengan mengatakan perempuan berasal dari bagian diri laki-laki, tanpa laki-laki maka perempuan tidak akan ada.
Menurut Husein Muhammad surat an Nisaa‟ ayat 1 tentang penciptaan perempuan yang dijadikan dasar oleh sebagaian ulama tafsir untuk menjustifikasi bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Sehingga kualitas yang pertama menjadi lebih baik dari pada penciptaan yang kedua harus dibaca dan ditafsirkan kembali.
Menurut Husein Muhammad, yang ingin diungkapkan oleh ayat ini adalah penciptaan manusia berawal dari penciptaan diri yang satu (nafs wahidah), kemudian penciptaan pasangannya yang sejenis dengannya, dari kedua pasangan tersebut kemudian tercipta laki-laki dan perempuan dalam jumlah banyak. Dalam ayat tersebut tidak dijelaskan dengan ungkapan yang jelas, apakah “diri” yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah laki-laki atau perempuan. Dan juga tidak ada ungkapan yang jelas apakah yang dimaksud “pasangannya” itu merujuk kepada laki-laki atau perempuan. Oleh karena itu, penafsiran subordinasi perempuan terhadap laki-laki dengan alasan bahwa yang dimaksud “pasangan” dalam ayat tersebut adalah peempuan, atau yang dimaksud “diri” adalah laki-laki menjadi tidak benar.[21]
Husein Muhammad bependapat bahwa kata nafs wahidah (diri yang satu) dan zaujaha (pasangannya) biarkan dengan ketidakjelasannya, sementara yang lebih jelas adalah ungkapan setelahnya bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari dua pasangan itu. Semangat ayat tersebut juga mengisyaratkan kebersamaan dan keberpasangan sebagai dasar kehidupan, bukan subordinasi satu kepada yang lain.
4.      Sumber Tafsir Feminis K.H. Husein Muhammad
Menurut penganalisaan kami terkait dengan Sumber Tafsir di atas, yaitu menggunakan sumber Tafsir bi al-Ra’y karena memang jika diteliti lebih dalam Husein sendiri menafsirkan salah satu ayat Al-Qur’an di atas dengan pemahamannya sendiri, dengan melihat penafsiran sebelumnya dari beberapa mufasir, dan husein sendiri mengemasnya dengan pemahaman yang berbeda dengan penafsir yang lain yang ada pada sekarang ini.

5.      Metode Penafsiran
Ada beberapa metodologi yang dipakai para mufassir feminis dalam menafsirkan al-Qur’an. Diantaranya adalah Hermeneutik. Metodologi tersebut kerjanya adalah mengkontekstualisasi dan menangkap semangat atau ruh dari ide yang terdapat di balik teks al-Qur’an sehingga hasil tafsirnya bisa keluar dari statemen normatif yang bersifat state of being kepada state of be coming atau biasa disebut dengan istilah melihat secara kritis prior text, yaitu situasi, perpspektif, kondisi sosio-hostoris yang melatarbelakangi dunia penafsir sebelum ia berhadapan dengan teks.
Tafsir feminis termasuk dalam kategori maudu`i, yaitu tematik, yaitu memfokuskan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan isu gender sahaja. Antara tema yang menjadi fokus golongan feminis adalah tema penciptaan wanita awal (Hawa). Ia dapat dilihat dalam ayat yang berkaitan dengan penciptaan (nafs wahidah) (al-Nisa’, 4:1). Kemudiannya, tema peranan kenabian, yaitu dalam al-Anbiya’, 21: 7 dan Yusuf, 12: 109, tema kepimpinan (qiwamah), iaitu al-Nisa’, 4: 3 dan 129, tema kesaksian (syahadah), iaitu dalam al-Baqarah, 2: 282, dan tema pewarisan (wirathah) iaitu dalam al-Nisa’, 4: 11.
Menurut Nasaruddin Umar, bias gender dalam pentafsiran teks al-Qur’an adalah disebabkan berlakunya pembakuan tanda huruf, tanda baca dan qiraat; pengertian kosa kata; penetapan rujukan kata ganti; penetapan batas pengecualian; penetapan erti huruf ‘atf; bias dalam struktur bahasa Arab; bias dalam kamus bahasa Arab; bias dalam metode tafsir; pengaruh riwayat Isra’iliyyat, dan bias dalam pembukuan dan pembakuan kitab-kitab Fiqh.[22]
6.      Corak Penafsiran
Model atau pendekatan yang digunakan dalam tafsir feminis sangat beragam diantaranya sebagaimana yang dinyatakan oleh Ghazala Anwar adalah:[23]
a)      Corak Feminis Apologis
Aliran ini memiliki keyakinan bahwa al-Qur’an dan hadits telah memberikan hak antara laki-laki dan perempuan bagi kesejahteraan dan pemenuhan pribadi masing-masing.
b)      Corak Feminis Reformis
Aliran ini bertujuan mentransformasikan tradisi dengan tetap menggunakan metodologi hermeneutik klasik yang akrab dalam wacana Islam tradisional.
c)      Corak Feminis Rasionalis
Aliran ini berangkat dari keyakinan bahwa karena Allah maha adil, tentu Islam membawa misi keadilan, keadilan terhadap siapapun, walaupun berbeda agama dan jenis kelamin. Aliran ini mengedepankan wacana keadilan dan kesetaraan gender. Tokoh dari model tafsir ini adalah Fazlur Rahman yang selanjutnya diikuti oleh Riffat Hasan dan Amina Wadud Muhsin.


d)     Corak Feminis Rejeksionis
Aliran ini memiliki keyakinan bahwa memang teks-teks al-Qur’an dan hadis dalam kaitannya dengan al-Qur’an memang ada yang misoginis, seksi, dan diskriminatif. mereka merujuk kepada pengalaman perempuan. Sehingga argumen apapun yang di luar itu―dari manapun sumbernya―yang mendukung diskriminasi terhadap perempuan akan ditolak. Tokoh yang mengikuti aliran ini adalah Tasleema Nasreen dan Fatima Mernissi.
e)       Corak Feminis postmodernis
Aliran berkeyakinan perlu dilakukan “ex-centralism”, yaitu keluar dari apa saja yang meletakkan laki-laki sebagai “pusat” dari kehidupan sosial dan spiritual perempuan. Bagi pemeluk aliran ini semua bentuk sentralisme adalah totaliter. Perempuan tidak boleh dibaca dari sudut laki-laki karena itu berlwanan dari ajaran agama. Tokoh pengikut dalam aliran ini adalah Mansour Fakih dan Ashgar Ali Engineer.
7.      Gagasan Revolusioner K.H. Husein Muhammad
Husein Muhammad merupakan seorang tokoh feminis yang pernyataan-pernyataannya sering menuai kontroversi. Gagasannya juga mendapatkan reaksi dari beberapa kalangan, terutama Kyai pesantren-pesantren lain yang ada di Cirebon dan wilayah lain di Jawa selain dukungan dari banyak pihak, Husein juga harus menghadapi sejumlah penentangan gagasannya.
Kami juga menilai, Husein memiliki kekhasan dari pada tokoh-tokoh yang lain. Dalam mengeluarkan gagasan-gagasannya, Husein selalu merujuk kepada literatur klasik. Hal ini, menurut kami ditujukan agar setiap gagasannya tersebut mudah diterima oleh masyarakat yang selama ini cenderung mengagungkan hasil ijtihad yang terangkum dalam Tafsir Klasik yang mu’tabar. Husein sendiri tokoh yang berani tampil beda dalam menafsirkan Al-Qur’an.





BAB III
                                                              KESIMPULAN
Secara garis besar maka kami bisa menyimpulkan bahwa tafsir feminis memiliki arti gerakan yang berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta adanya usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut. Tafsir feminis merupakan satu istilah yang asing dalam ilmu Tafsir ataupun ‘Ulum al-Qur’an. Ia lahir dari rasa ketidakpuasan hati terhadap hasil tafsir ulama-ulama klasik maupun kontemporari ekoran wujudnya elemen bias gender. Bisa gender ini menyebabkan berlakunya ketidakadilan terhadap wanita dalam tiap uraian tafsir
Karena tafsir ini dikategorikan sebagai tafsir tematik, maka hal tersebut sesuai dengan tujuan tafsir itu sendiri, K.H. Husein Muhammad mencoba mengkritisi fenomena sosial terkini tentang problema yang dihadapi kaum wanita, khususnya berbagai permasalahan kaum wanita di Indonesia. Maka kita akan dapat melihat keumuman tafsir ini yaitu ketika K.H. Husein Muhammad mencoba mengkaji ulang permasalahan-permasalahan kaum wanita secara lebih aktual dan mengaitkan permasalahan tersebut terhadap ayat yang memang sesuai dengan permasalahan tersebut. Dan sudah barang tentu K.H. Husein Muhammad menyertakan solusi dari permasalahnya. Wallaahu A’lam –innamal ‘ilmu bit-ta’alum-










DAFTAR PUSTAKA

            Musdah Mulia, Siti. 2011, Muslimah Sejati, Bandung:  Marja.
            Baidhawy, Zakiyuddin. 1997, Wacana Teologi Feminis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
            Anuar Ramli Mohd, Ismail Paizah, dan Ikhlas Rosele Muhammad, ARTIKEL; Tafsir Feminis: Antara Rekonstruksi Tafsiran Mesra-Gender Dengan Dekonstruksi Tafsiran Ulama Klasik
                Nuruzzaman Muhammad, 2005, Kiai Husein Membela Perempuan, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
                Abadi Munib, Kekerasan Terhadap Perempuan Perspektif  Hukum Islam (Studi Analisis Pemikiran K.H. husein Muhammad, Skripsi Pdf.
Akbar Zaelani, Pemikiran Husein Muhammad Tentang Pernikahan Dini, Skripsi pdf.
Mustaqim Abdul,2013, Tafsir Feminis Versus Tafsir Patriarki, Yogyakarta: Sabda Persada.
Fakih Mansour,1996, Menggeser Konsepsi Gender dan Tranformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka           Pelajar.
Baidowi Ahmad. 2005, Tafsir Feminis. Yogyakarta: Nuansa.
Van Doom-Harser Nelly. 2008, Menimbang Tafsir Perempuan Terhadap al-Quran. (terj.) Josien Folbert. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mustaqim Abdul. 2008, Paradigma Tafsir Feminis, Yogyakarta: Logung Pustaka.
Ali Engineer Asghar. 1991, Islam dan Pembebasan, terj. Hairus Salim, Yogyakarta: LkiS.
Muhammad Husein. 2007, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender Yogyakarta: LkiS.
Umar Nasaruddin. 2011, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an. Jakarta: PARAMADINA.

Muhammad Husein,/ husayn.muhammad/about. https://www.facebook.com/, ( 8 Februari  2016).

http://fahmina.or.id/id/id/content/view/441/85/







[1] Prof. Dr. Hj. Siti Musdah Mulia, MA, Muslimah Sejati, (Bandung:  Marja,  2011)  Hal 9
[2] Zakiyuddin Baidhawy, Wacana Teologi Feminis,( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997) Hal 3
[3] Artikel Mohd Anuar Ramli, Paizah Hj Ismail dan Muhammad Ikhlas Rosele, Tafsir Feminis: Antara Rekonstruksi Tafsiran Mesra-Gender Dengan Dekonstruksi Tafsiran Ulama Klasik ,Hal, 187
[4] Facebook, Husein Muhammad, https://www.facebook.com/husayn.muhammad/about, (Diakses pada tanggal 8 Februari  2016).
[5] M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), Hal 110.
[6] Ibid., 111.
[7] Munib Abadi, Kekerasan Terhadap Perempuan Perspektif  Hukum Islam (Studi Analisis Pemikiran K.H. husein Muhammad, Skripsi Pdf Hal 26
[8] M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan, Op.Cit, Hal  111-112
[9] Husein Muhammad, Ijtihad Kyai Husein; Upaya Membangun Keadilan Gender ( Jakarta: Rahima, 2011),Hal  439.
[10] M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan, Op.Cit, Hal  113
[11] Ibid., hal 115
[12] Zaelani Akbar, Pemikiran Husein Muhammad Tentang Pernikahan Dini, Skripsi pdf  Hal 26
[13] http://fahmina.or.id/id/id/content/view/441/85/
[14] Abdul Mustaqim MA, Tafsir Feminis Versus Tafsir Patriarki, (Yogyakarta: Sabda Persada, 2013), Hal 14
[15] Mansour Fakih, Menggeser Konsepsi Gender dan Tranformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),Hal 82.
[16] Abdul Mustaqim MA, Tafsir Feminis Versus Tafsir Patriarki, Op.Cit, Hal 16
[17] Ahmad Baidowi. Tafsir Feminis. (Yogyakarta: Penerbit Nuansa, 2005), Hal 21. 
[18] Nelly Van Doorn-Harder. Menimbang Tafsir Perempuan Terhadap al-Quran. (terj.) Josien Folbert. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),  Hal 15. 
[19] Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2008), Hal. 131
[20] Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, terj. Hairus Salim (Yogyakarta: LkiS, 1991) Hal. 13
[21] Husein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LkiS,2007), 30-31. 
[22] Nasaruddin Umar. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an. (Jakarta: Penerbit PARAMADINA,
2001), Hal 265-300.
[23] Abdul Mustaqim MA, Tafsir Feminis Versus Tafsir Patriarki, Op.Cit, Hal 75

Tidak ada komentar:

Posting Komentar